Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Artikel Pendidikan’ Category

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.

(Konsultan Pendidikan dan Penatar

Guru Sosiologi SMA Tingkat Nasional)

A. Pendahuluan

Bagi setiap pendidik, baik yang berstatus sebagai kepala sekolah maupun sebagai guru mata pelajaran dituntut untuk memahami  konsep-konsep dasar tentang perencanaan pendidikan, pendekatan dalam perencanaan pendidikan dan beragam model perencanaan pendidikan. Kualitas pemahaman kepala sekolah terhadap ketiga konsep tersebut akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan di setiap satuan pendidikan. Demikian juga bagi guru, kualitas pemahaman terhadap ketiga konsep tersebut akan mendukung pelaksanaan empat kompetensi professional guru dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian tentang konsep perencanaan, pendekatan dan model perencanaan pendidikan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas atau kompleks. Oleh karena itu kajian singkat berikut ini lebih menekankan pada  tiga aspek, yaitu: (1) beberapa konsep tentang perencanaan pendidikan; (2) pendekatan perencanaan pendidikan; dan (3) beragam metode dan model perencanaan pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak diraih dari kajian singkat ini adalah diharapkan kajian singkat ini dapat memberikan informasi awal bagi para peminat kajian tentang perencanaan pendidikan, dan terus termotivasi untuk meningkatkan pemahamanan lebih lanjut pada sumber-sumber ilmiah lainnya.

B. Beberapa Konsep Tentang Perencanaan Pendidikan

Ada tujuh konsep penting yang perlu dipahami, dalam mengawali kajian atau pembahasan tentang konsep perencanan pendidikan, antara lain: (1) pengertian perencanaan pendidikan; (2) tujuan perencanaan pendidikan; (3) manfaat perencanaan pendidikan; (4) ruang lingkup perencanaan pendidikan; (5) karakteristik perencanaan pendidikan; (6) prinsip-prinsip perencanaan pendidikan; dan (7) proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan.  Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketujuh  konsep tersebut di atas.

  1. 1. Pengertian perencanaan pendidikan

Pengertian perencanaan, dan pengertian perencanaan pendidikan. Ada beragam pengertian perencanaan  yang telah dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut: (1) Bintoro Tjokroaminoto, perencanaan adalah ‘proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu; (2) Prajudi Atmosudirdjo, perencanaan adalah ‘perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang melakukan, bilamana, dimana dan bagaimana cara melakukannya; (3) Handoko, perencanaan adalah  meliputi: (a) pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan organisasi; dan (b) penentuan strategi, kebijakan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan; (4) Husaini Usman, perencanaan  adalah kegiatan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang untuk mencapai tujuan; (5) Coombs, perencanaan pendidikan adalah ‘suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya; dan (6) Sa’ud dan Makmun, perencanaan pendidikan adalah ‘suatu kegiatan melihat masa depan dalam hal menentukan kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan dengan memprioritaskan kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial dan politik untuk mengembangkan sistem pendidikan negara dan pesera didik yang dilayani oleh sistem tersebut (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).

Dari beberapa definisi tentang perencanaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa  konsep yang ada dalam pengertian perencanaan pendidikan adalah: (1) suatu rumusan rancangan  kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan; (2) memuat langkah atau prosedur dalam  proses kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (3) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga satuan pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, komite sekolah); (4) memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan (5) menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas.

  1. 2. Tujuan Perencanaan Pendidikan

Tujuan perencanaan pendidikan. Ada beberapa tujuan perlunya penyusunan suatu perencanaan pendidikan, antara lain: (1) untuk standar pengawasan pola perilaku pelaksana pendidikan, yaitu untuk mencocokkan antara pelaksanaan atau tindakan pemimpin dan anggota organisasi pendidikan dengan program atau perencanaan yang telah disusun; (2) untuk mengetahui kapan pelaksanaan perencanaan pendidikan itu diberlakukan dan bagaimana proses penyelesaian suatu kegiatan layanan pendidikan; (3) untuk mengetahui siapa saja yang terlibat (struktur organisasinya) dalam pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan, baik aspek kualitas maupun kuantitasnya, dan baik menyangkut aspek akademik-nonakademik; (4) untuk mewujudkan proses kegiatan dalam pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan; (5) untuk meminimalkan terjadinya beragam kegiatan yang tidak produktif dan tidak efisien, baik dari segi biaya, tenaga dan waktu selama proses layanan pendidikan; (6) untuk memberikan gambaran secara menyeluruh (integral) dan khusus (spefisik) tentang jenis kegiatan atau pekerjaan bidang pendidikan yang harus dilakukan; (7) untuk menyerasikan atau memadukan beberapa sub pekerjaan dalam suatu organisasi pendidikan sebagai ‘suatu sistem’; (8) untuk mengetahui beragam peluang, hambatan, tantangan dan kesulitan yang dihadapi organisasi pendidikan; dan (9) untuk mengarahkan proses  pencapaikan tujuan pendidikan (Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Sagala, S. 2009).

  1. 3. Manfaat perencanaan pendidikan

Manfaat perencanaan pendidikan. Menurut para ahli, ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan pendidikan yang disusun dengan baik bagi kehidupan kelembagaan, antara lain: (1) dapat digunakan sebagai standar pelaksanaan dan pengawasan proses aktivitas atau pekerjaan pemimpin dan anggota dalam suatu lembaga pendidikan; (2) dapat dijadikan sebagai media pemilihan berbagai alternatif langkah pekerjaan atau strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (3) dapat bermanfaat dalam penyusunan skala prioritas kelembagaan baik yang menyangkut sasaran yang akan dicapai maupun proses kegiatan layanan pendidikan; (4) dapat mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya organisasi atau lembaga pendidikan; (5) dapat membantu pimpinan dan para anggota (warga sekolah) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan atau dinamika perubahan sosial-budaya; (6) dapat dijadikan sebagai media atau alat  untuk memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; (7) dapat dijadikan sebagai media untuk meminimalkan pekerjaan yang tidak efisien atau tidak pasti; dan (8) dapat dijadikan sebagai alat dalam mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan (Depdiknas. 1997; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001).

  1. 4. Ruang lingkup perencanaan pendidikan

Ruang lingkup perencanaan pendidikan mempunyai jangkauan yang cukup luas, dan  dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:

  1. Ditinjau dari aspek spasialnya, yaitu perencanaan pendidikan yang memiliki karakter yang terkait dengan ruang, tempat atau batasan wilayah. Perencanaan ini dapat terbagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan nasional, yaitu mencakup seluruh proses usaha layanan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yang meliputi seluruh jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, yang diatur dalam sistem pendidikan nasional (sispenas) melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; (2) perencanaan pendidikan regional, yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dan diberlakukan dalam wilayah regional tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan pendidikan tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota, yang menyangut seluruh jenis layanan pendidikan di semua jenjang untuk daerah atau propinsi tertentu; (3) perencanaan pendidikan kelembagaan, yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup satu institusi atau lembaga pendidikan tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘Mandiri’ kota ‘Maju’ tahun 2010, perencanaan Universitas ‘Citra Bangsa’, dan sejenisnya.

b.  Dintinjau dari aspek sifat dan karakteristik modelnya, dapat dibagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan terpadu (integrated educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup seluruh aspek yang terkait dengan proses pembangunan pendidikan yang esensial (mendasar), dalam koridor perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini perencanaan pendidikan ada keterpaduan atau keterkaitan secara sistemik dengan perencanaan pembangunan bidang ekonomi, politik, hukum dan sebagainya; (2) perencanaan pendidikan komprehensif (comprehension educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun secara sistematik, rasional, objektif yang menyangkut keseluruhan konsep penting dalam layanan pendidikan, sehingga perencanaan itu memberikan suatu pemahaman yang lengkap atau sempurna tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ memberikan layanan pendidikan yang berkualitas; (3) perencanaan pendidikan strategik (strategic educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mengandung pokok-pokok perencanaan untuk menjawab persoalan atau opini, atau isu mutakhir yang dihadapi oleh dunia pendidikan, misalnya, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan sekarang adalah masalah ‘tranformasi teknologi’, atau masalah ‘rendahnya kualitas guru’, atau masalah ‘keterkaitan antara dunia usaha dengan output lulusan’, dan sebagainya. Jadi, perencanaan ini menyangkut beragam strategi untuk menghadapi persoalan yang muncul.

  1. Ditinjau dari aspek waktunya. Perencanaan pendidikan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) perencanaan pendidikan jangka panjang (long term educational planning), yaitu  perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ke atas, isi perencanaan jangka panjang ini belum ditampilkan sasaran yang bersifat kuantitatif, melainkan dalam bentuk proyeksi atau perspektif atas keadaan ideal yang diinginkan dalam pembangunan pendidikan. Contoh, program pendidikan nasional dalam sistem pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan jangka menengah (medium term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu antara tiga sampai delapan tahun (perencanaan untuk empat atau lima tahun atau satu periode kepemimpinan). Perencanaan jangka menengah merupakan penjabaran lebih kongkrit dari perencanaan jangka panjang, yang sudah merumuskan sasaran atau tujuan yang secara kuantitatif akan dicapai; dan (3) perencanaan pendidikan jangka pendek (short term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu maksimal satu tahun. Perencanaan ini sering disebut perencanaan operasional tahunan (annual operational planning), yang memuat langkah-langkah strategis dan operasional sehari-hari, yang merupakan penjabaran lebih rinci dan aplikatif dari perencanaan jangka memengah.

d.  Ditinjau dari aspek tingkatan teknis perencanaan. Perencanaan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan pendidikan makro, yaitu perencanaan pendidikan yang bersifat nasional atau sering disebut dengan perencanaan pendidikan nasional, yang berlaku di seluruh negara kesatuan RI dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Perencanaan pendidikan makro ini disebut juga dengan ‘sistem pendidikan nasional’ (Sispenas); (2) perencanaan pendidikan mikro, yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dan disesuaikan dengan kondisi otonomi daerah masing-masing. Dalam perencanaan pendidikan mikro, secara teknis perlu memperhatikan: (a) ketentuan/ standar; (b) kondisi geografis dan demografis; dan (c) infrastruktur yang ada di daerah, sedangkan secara non teknis perlu memperhatikan: (a) aspirasi dan peran serta masyarakat terhadap pendidikan; (b) kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik dan kamanan daerah; (3) perencanaan pendidikan sektoral, yaitu kumpulan program atau kegiatan pendidikan yang menekankan pada sektor tertentu, namun tetap ada keterkaitan dengan sektor lainnya; (4) perencanaan pendidikan kawasan, yaitu perencanaan pendidikan yang memperhatikan kawasan lingkungan tertentu sebagai pusat kegiatan pendidikan, misalnya perencanaan pendidikan kawasan pesisir, kawasan pinggiran kota; (5) perencanaan pendidikan proyek, yaitu perencanaan operasional yang menyangkut implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan, misalnya perencanaan proyek unik sekolah baru SMK.

e.  Ditinjau dari aspek jenis perencanaan. Perencanaan pendidikan ini dibedakan menjadi: (1)   perencanaan pendidikan dari atas ke bawah (top down educational planning), perencanaan ini sering disebut juga perencanaan pendidikan makro atau perencanaan pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan dari bawah ke atas (bottom up  educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat oleh tenaga perencana dari tingkat bawah kemudian disampaikan ke pusat, misalnya perencanaan yang dibuat oleh guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan kemudian disampaikan ke Kementrian Pendidikan Nasional; (3) perencanaan pendidikan menyerong dan menyamping (diagonal educational planning), perencanaan ini sering disebut perencanaan sektoral, yaitu perencanaan yang melibatkan kerjasama antar departemen atau lembaga, misalnya, lembaga Kementrian Pendidikan Nasional dengan Bappeda Propinsi; (4) perencanaan pendidikan mendatar (horizontal educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dengan menjalin kerjasama antar lembaga atau departemen yang sederajat, misalnya perencanaan pendidikan antara kementrian pendidikan dan kementrian agama dan kementrian sosial; (5) perencanaan pendidikan menggelinding (rolling educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang; (6) perencanaan pendidikan gabungan atas ke bawah dan bawah ke atas (top down and bottom up  educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mengintegrasikan atau mengakomodasi kepentingan pusat dan daerah (lokal) (Oliver, Paul, ed. 1996; Usman, H. 2008).

  1. 5. Karakteristik perencanaan pendidikan

Karakteristik perencanaan pendidikan. Berdasarkan beberapa pengertian, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup perencanaan pendidikan tersebut di atas, maka ciri-ciri (karakteristik) suatu perencanaan pendidikan antara lain, perencanaan pendidikan harus: (1) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan diwujudkan; (2) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu (jangka pendek, menengah dan panjang) yang akan dicapai secara berkesinambungan; (3) mengutamakan nilai-nilai manusiawi, kerena pendidikan itu membangun manusia yang berkualitas, yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (4) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara maksimal; (5) komprehensif dan sistematis dalam arti tidak praktikal atau segmentasi tetapi menyeluruh, terpadu (integral) dan disusun secara logis, rasional serta mencakup berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan; (6) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang sanggup mengisi berbagai sektor pembangunan; (7) dikembangkan dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis; (8)  menggunakan sumber daya (resources) internal dan eksternal secermat mungkin; (9) berorientasi kepada masa datang, karena pendidikan adalah proses jangka panjang dan jauh untuk menghadapi berbagai persoalan di masa depan; (10) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di masyarakat dan bersifat dinamik; dan (11) merupakan sarana untuk mengembangkan inovasi pendidikan, sehingga proses  pembaharuan pendidikan terus berlangsung dengan baik  (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).

  1. 6. Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan

Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:

  1. Prinsip interdisipliner, yaitu menyangkut berbagai bidang keilmuan atau beragam kehidupan. Hal ini penting karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik harus menyangkut berbagai jenis pengetahuan, beragam ketrampilan dan nilai-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat.
  2. Prinsip fleksibel, yaitu bersifat lentur, dinamik dan responsif terhadap perkembangan atau perubahan kehidupan di masyarakat. Hal ini penting, karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik adalah menyiapkan siswa untuk mampu menghadapi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan beragam tantangan kehidupan terkini.
  3. Prinsip efektifitas-efisiensi, artinya dalam penyusunan perencanaan pendidikan didasarkan pada perhitungan sumber daya yang ada secara cermat dan matang, sehingga perencanaan itu ‘berhasil guna’ dan ‘bernilai guna’ dalam pencapaian tujuan pendidikan.
  4. Prinsip progress of change, yaitu terus mendorong dan memberi peluang kepada semua warga sekolah untuk berkarya dan bergerak maju ke depan dengan beragam pembaharuan layanan pendidikan yang lebih berkualitas, sesuai dengan peranan masing-masing.
  5. Prinsip objektif, rasional dan sistematis, artinya perencanaan pendidikan harus disusun berdasarkan data yang ada, berdasarkan analisa kebutuhan dan kemanfaatan layanan pendidikan secara rasional (memungkinkan untuk diwujudkan secara nyata), dan mempunyai sistematika dan tahapan pencapaian program secara jelas dan berkesinambungan.
  6. Prinsip kooperatifkomprehensif, artinya  perencanaan yang disusun mampu memotivasi dan membangun mentalitas semua warga sekolah dalam bekerja sebagai suatu tim (team work) yang baik. Disamping itu perencanaan yang disusun harus  mencakup seluruh aspek esensial (mendasar) tentang layanan pendidikan akademik dan non akademik setiap peserta didik.
  7. Prinsip human resources development, artinya perencanaan pendidikan harus disusun sebaik mungkin dan mampu menjadi acuan dalam pengembangan sumber daya manusia secara maksimal dalam mensukseskan program pembangunan pendidikan. Layanan pendidikan pada peserta didik harus betul-betul mampu membangun individu yang unggul baik dari aspek intelektual (penguasaan science and technology), aspek emosional (kepribadian atau akhlak), dan aspek spiritual (keimanan dan ketakwaan) , atau disebut IESQ yang unggul (Dahana,  and Bhatnagar, 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Langgulung, H., 1992).
  8. 7. Proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan

Proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan. Menurut Banghart and Trull dalam Sa’ud (2007) ada beberapa tahapan yang semestinya dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:

  1. Tahap need assessment, yaitu melakukan kajian terhadap beragam kebutuhan atau taksiran yang diperlukan dalam proses pembangunan atau pelayanan pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Kajian awal ini harus cermat, karena fungsi kajian akan memberikan masukan tentang: (a) pencapaian program sebelumnya; (b) sumber daya apa yang tersedia, dan (c) apa yang akan dilakukan dan bagaimana tantangan ke depan yang akan dihadapi.
  2. Tahap formulation of goals and objective, yaitu perumusan tujuan dan sasaran perencanaan yang hendak dicapai. Perumusan tujuan perencanaan pendidikan harus berdasarkan pada visi, misi dan hasil kajian awal tentang beragam kebutuhan atau taksiran (assessment) layanan pendidikan yang diperlukan.
  3. Tahap policy and priority setting, yaitu merancang tentang rumusan prioritas kebijakan apa yang akan dilaksanakan dalam layanan pendidikan. Rumusan prioritas kebijakan ini harus dijabarkan kedalam strategi dasar layanan pendidikan yang jelas, agar memudahkan dalam pencapaian tujuan.
  4. Tahap program and project formulation, yaitu rumusan program dan proyek pelaksanaan kegiatan operasional perencanaan pendidikan, menyangkut layanan pedidikan pada aspek akademik dan non akademik.
  5. Tahap feasibility testing, yaitu dilakukan uji kelayakan tentang beragam sumber daya (sumber daya internal/ eksternal; atau sumber daya manusia/ material). Apabila perencanaan disusun berdasarkan sumber daya yang tersedia secara cermat dan akurat, akan menghasilkan tingkat kelayakan rencana pendidikan yang baik.
  6. Tahap plan implementation, yaitu tahap pelaksanaan perencanaan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Keberhasilan tahap ini sangat ditentukan oleh: (a) kualitas sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, komite sekolah, karyawan, dan siswa); (b) iklim atau pola kerjasama antar unsur dalam satuan pendidikan sebagai suatu tim kerja (team work) yang handal; dan (c) kontrol atau pengawasan dan pengendalian kegiatan selama proses pelaksanaan atau implementasi program layanan pendidikan.
  7. Tahap evaluation and revision for future plan, yaitu kegiatan untuk menilai (mengevaluasi) tingkat keberhasilan pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan, sebagai feedback (masukan atau umpan balik), selanjutnya dilakukan revisi program untuk rencana layanan pendidikan berikutnya yang lebih baik.

Merujuk pada uraian dari pengertian perencanaan pendidikan sampai tahapan dalam penyusunan perencanaan pendidikan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan perencanaan pendidikan dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah sangat penting, karena dengan adanya perencanaan pendidikan yang baik dapat:

  1. Meningkatkan kualitas kegiatan atau aktivitas layanan pendidikan anak secara maksimal, baik menyangkut aspek akademik atau non akademiknya. Hal ini disebabkan seluruh aktivitas warga sekolah harus berdasarkan pada program yang telah disusun dengan baik dalam suatu perencanaan pendidikan secara sistematik dan integral.
  2. Mengetahui beberapa sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara maksimal, dan juga mengetahui beberapa kendala, hambatan dan tantangan yang akan dihadapi dalam upaya pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan, suatu perencanaan pendidikan yang baik pasti akan memuat tentang beberapa peluang dalam mencapai tujuan dan prediksi tantangan atau hambatan yang akan muncul, serta strategi yang harus dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut.
  3. Memberi peluang pada setiap warga sekolah dalam meningkatkan beragam kemampuan, keahlian atau  ketrampilan secara maksimal, dalam rangka mewujudkan tujuan  layanan  pendidikan.
  4. Memberikan kesempatan bagi pelaksana program untuk memilih beberapa alternatif pilihan tentang metode atau strategi atau pendekatan yang tepat dalam pelaksanaan perencanaan pendidikan, agar efektif dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
  5. Memudahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan, karena perencanaan pendidikan yang baik selalu dirancang dengan tahapan-tahapan pelaksanaan program layanan pendidikan (jangka pendek, menengah dan panjang), disamping itu telah disusun skala prioritas sasaran tujuan yang akan dicapai.
  6. Memudahkan dalam melakukan evaluasi tentang seberapa besar pencapaian tujuan layanan pendidikan yang telah diraih, karena dalam perencanaan pendidikan yang baik selalu merumuskan indikator-indikator pencapaian tujuan dan instrumen apa yang dipakai dalam mengukur keberhasilan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan.
  7. Memudahkan dalam melakukan revisi program layanan pendidikan dan proses penyusunan perencanaan pendidikan berikutnya, sesuai dengan dinamika dan perkembangan  kehidupan sosial-budaya (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).

B. Pendekatan Perencanaan Pendidikan

Menurut para ahli, ada beragam pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach); pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach). Berikut ini akan dijelaskan secara singkat keempat pendekatan perencanan pendidikan tersebut

  1. 1. Pendekatan kebutuhan sosial

Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada: (1) tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar; (2) pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf); dan (3) pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, dari kebodohan dan dari kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan  pada negara-negara yang baru meraih kemerdekaan dari penjajahan, dengan kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang pendidikannya dan kondisi sosial ekonominya.

Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipakai, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan atau diperhatikan oleh penyusun perencanaan dalam merancang perencanaan pendidikan, antara lain: (1) melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya; (2)  melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis persentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan; (3) melakukan analisis tentang dinamika atau gerak (mobilitas) peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan, dan dropout; (4) melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang jenis layanan pendidikan di sekolah; (5) melakukan analisis tentang tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara maksimal dalam proses layanan pendidikan; dan (6) melakukan analisis tentang keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Diantara sisi positif pendekatan ini antara lain: (1) pendekatan ini  lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf; dan (2) pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.  Sedangkan sisi kelemahan pendekatan kebutuhan sosial ini antara lain: (1) pendekatan ini cederung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besanya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan; (2) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kuantitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan, oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros; (3) pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini; dan (4) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Disamping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang komprehensif dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.

  1. 2. Pendekatan ketenagakerjaan

Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan antara output (lulusan) layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan dengan tuntutan atau keterserapan akan kebutuhan tenaga kerja di masyarakat. Apabila pendekatan ini dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) melakukan kajian atau analisis tentang beragam kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat mungkin; (2) melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan dan ketrampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu menyesuaikan diri secara cepat (adaptif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia kerja; dan (3) mengkaji atau menganalisis tentang sistem layanan pendidikan yang terbaik dan mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di dunia kerja, oleh karena itu perlu dilakukan analisis peluang kerja dan menjalin kerjasama antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri (link and match).

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan ketenagakerjaan, yaitu: Pertama, beberapa kebaikan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain: (1) proses pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan pendidikan mempunyai aspek korelasional yang tinggi dengan tuntutan dunia kerja yang dibutuhkan masyarakat; dan (2) pendekatan ini mengharuskan adanya keterjalinan yang erat antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri, hal ini tentu sangat positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia industri-usaha.

Kedua, beberapa kelemahan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain: (1) mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah umum, dan lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang menganggur (output-nya tidak terserap di dunia kerja); (2) perencanaan ini lebih menggunakan orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan persediaan; dan (3) tujuan utamanya untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, sedangkan disisi lain tuntutan dunia kerja selalu berubah-ubah (bersifat dinamik) begitu cepat, sehingga lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu mengantisipasinya dengan baik (Vebriarto. 1982; Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).

  1. 3. Pendekatan keefektifan biaya

Pendekatan ini berorientasi pada konsep Investment in human capital (investasi pada sumber daya manusia).  Pendekatan ini sering disebut pendekatan untung rugi. Diantara ciri-ciri pendekatan ini antara lain: (1) pendidikan memerlukan biaya investasi yang besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis; (2) pendekatan ini didasarkan pada asumsi, bahwa: (a)  kualitas  layanan pendidikan akan menghasilkan output yang baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masyarakat; (b) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya; (c) perbedaan pendapatan seseorang di masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar belakang sosialnya; (3)  perencanaan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasaan Iptek), dan dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan meningkat; dan (4) program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan menempati prioritas pembiayaan yang besar.

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan dengan pendekatan  keefektifan biaya, yaitu. Pertama, kelebihan pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) perencanaan pendidikan yang disusun akan mempunyai aspek fungsional dan keuntungan ekonomis, sehingga bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap kurang produktif bisa ditiadakan melalui pendekatan efisiensi investasi; dan (b)  pendekatan ini selalu memilih alternaif yang menghasilkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan.

Kedua, kelemahan pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) akan mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari layanan pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk periode atau masa yang akan datang; (b) sangat sulit untuk mengukur secara pasti atau menghitung keuntungan (benefit) yang dihasilkan oleh seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan layanan pendidikan sebelumnya; (c) pendekatan ini mengabaikan hubungan antara penghasilan seseorang dengan faktor internal individu (misalnya, motivasi, disiplin nurani, kelas sosial, orientasi hidup individu, dan sejenisnya), dan hanya melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan; (d) perbedaan pendapatan seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan kemampuan produktivitas individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan yaitu faktor konvensi sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok; dan (e) keuntungan dari pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa keuntungan finansial (material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan sosial-budaya (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).

  1. 4. Pendekatan integratif

Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan di atas. Pendekatan ini sering disebut dengan ‘pendekatan sistemik atau pendekatan sinergik’. Diantara ciri atau karakteristik pendekatan integratif adalah, bahwa perencanaan  pendidikan yang disusun berdasarkan pada: (1)  keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap pengembangan individu dan pengembangan sosial (kelompok); (2) keterpaduan antara pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga mempersiapkan pengembangan kualitas akademik (bersifat idealis) untuk mempersiapkan studi lanjut; (3) keterpaduan antara pertimbangan ekonomis (untung rugi), dan pertimbangan  layanan sosial-budaya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya integrasi sosial-budaya; (4) keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya lembaga, baik sumber daya internal maupun sumber daya eksternal; (5) konsep bahwa seluruh unsur yang terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan program) di setiap satuan pendidikan merupakan ‘suatu sistem’; dan (6)  konsep bahwa kontrol dan evaluasi pelaksanaan program (perencanaan pendidikan) melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan proses layanan kualitas pendidikan, dengan tetap berada dalam komando pimpinan atau kepala satuan pendidikan. Sedangkan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses evaluasi pelaksanaan perencanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah: (a) Kepala sekolah; (b) Guru; (c) Siswa; (d) Komite Sekolah, (e) Pengawas sekolah; dan (f) Dinas pendidikan (Vebriarto. 1982; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001, 2006).

Sedangkan kelebihan dan kelemahan pendekatan perencanaan pendidikan integrasi atau terpadu adalah: Pertama, kelebihan pendekatan terpadu antara lain: (1) semua sumber daya (internal-eksternal) yang dimiliki dalam proses pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik dan seimbang; (2) dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing; (3) peluang untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih efektif, karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar bagi pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut partisipasi aktif dari semua warga sekolah; (4) perencanaan pendidikan yang terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan di era globalisasi; (5) pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap agenda kehidupan di masyarakat; dan (6) output dari proses layanan pendidikan pada peserta didik  akan lebih menampilkan potret hasil pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas kepribadiannya dan kualitas ketrampilannya.

Kedua, kelemahan pendekatan terpadu antara lain: (1) pendekatan ini memerlukan ketersediaan kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), khususnya kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan spiritualnya. Dalam realitasnya menurut data Depdiknas 2006-2007, khususnya tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara makro (Nasional) dari jenjang pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang betul-betul telah memenuhi standar kualitas guru yang professional masih kurang dari 20 %, atau kurang lebih 80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi sebagai guru yang profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat menyulitkan proses pelaksanaan perencanaan pendidikan yang integratif;  (2) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan secara transparan, akuntabel, demokratik dan visioner. Dalam realitasnya masih banyak dijumpai  pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS); dan (3) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran serta masyarakat (PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol  (controlling); dan (d) mediator (Depdiknas, 2006). Dalam realitasnya keempat peran tersebut belum terlaksana dengan baik di setiap lembaga atau satuan pendidikan.

Jadi, uraian tentang kelemahan pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik sejatinya tidak menyangkut ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada tataran unsur pendudukung dalam pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena itu secara konseptual pendekatan perencanaan integrasi merupakan pendekatan yang paling baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih bersifat parsial (sektoral). Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan program pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah: (a) terus mendorong pengembangan kualitas SDM warga sekolah; (b) terus meningkatkan kualitas manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS; dan (c) terus meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan pendidikan.

C. Metode dan Model Perencanaan Pendidikan

  1. 1. Metode perencanaan pendidikan

Ada beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan, antara lain:

  1. a. Metode analisis sumber-cara-tujuan. Metode  ini dipakai untuk meneliti sumber-sumber dan beberapa alternatif pelaksanaan program untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (a) melakukan analisis tentang sumber daya yang ada, baik sumber daya internal atau eksternal yang dimiliki; (b) melakukan analisis tentang beberapa metode (cara) atau strategi yang dapat dilakukan dalam proses pelaksanaan program yang telah dirancang, agar efektif dalam pencapaian tujuan; dan (c) melakukan analisis tentang tujuan jangka pendek, menengah dan tujuan jangka panjang secara integral dan berkesinambungan,
  2. b. Metode analisis masukan-keluaran. Metode ini dipakai untuk menganalisis beberapa faktor input pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1)  melakukan analisis tentang faktor-faktor input pendidikan, misalnya: (a) analisis memiliki kebijakan mutu sekolah; (b) analisis sumber daya tersedia dan siap; (c) analisis tentang harapan prestasi yang tinggi; (d) analisis terhadap pelanggan (khususnya pada peserta didik yang masuk);  dan (e) analisis manajemen MBS   (Dirjen Dikdasmen, 2006; Bafadal, I. 2003); (2) melakukan analisis tentang proses layanan pendidikan, misalnya: (a) analisis efektivitas proses belajar mengajar; (b) analisis kepemimpinan sekolah yang demokratis; (c) analisis pengelolaan SDM dan keuangan yang efektif, transparan dan akuntabel; (d) analisis sekolah berbudaya mutu; (e) analisis sekolah yang memiliki teamwork yang kompak, cerdas, visioner dan dinamik; (f) analisis kemandirin dalam pengelolaan sumber daya sekolah; dan sebagainya (Dirjen Dikdasmen, 2006); dan (3) melakukan analisis output pendidikan, misalnya: (a) analisis kualitas karya sekolah; (b) analisis produktivitas warga sekolah; (c) analisis lulusan dengan kebutuhan masyarakat; dan sebagainya.
  3. c. Metode analisis ekonometrik. Metode ini memakai data empirik, statistik, kuantitatif dan teori ekonomi dalam mengukur perubahan untuk hubungannya dengan ekonomi. Metode ini lebih dekat dengan pendekatan perencanaan pendidikan model untung rugi atau  keefektifan biaya. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis secara empirik atau kuantitatif tentang sumber daya dan sumebr dana yang dimiliki oleh lembaga, yang berpotensi untuk bisa dikembangkan secara maksimal dalam rangka meraih keuntungan finansial secara maksimal; dan (2) melakukan analisis  tentang peluang output dari layanan pendidikan yang dapat terserap oleh dunia usaha atau industri, sehingga layanan pendidikan yang diberikan betul-betul mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Oleh karena proses layanan pendidikan yang tidak bernilai produktif (memberi nilai ekonomis) harus ditiadakan.
  4. d. Metode diagram sebab akibat. Metode ini dipakai dalam perencanaan yang menggunakan sekuen hipotetik untuk mendapatkan gambaran masa depan yang lebih baik. Metode ini hampir sama dengan pendekatan strategik. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis beragam problem atau beragam tantangan yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan adanya analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunity atau kesempatan, and Threat atau ancaman) secara cermat pada semua aspek atau bidang-bidang pendidikan yang akan dikembangkan. Tujuan dilakukan analisis SWOT adalah untuk mengenali tingkat kesiapan setiap bidang pendidikan atau aspek kelembagaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan; dan (2) melakukan analisis tindakan atau langkah-langkah yang tepat, yang dapat dilaksanakan dalam menghadapi beragam tantangan atau problem yang muncul pada era yang akan datang.
  5. e. Metode analisis siklus kehidupan. Metode ini dipakai untuk mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah dengan memperhatikan siklus kehidupan produksi atau output layanan pendidikan (lulusan), proyek, program dan proses kegiatan layanan pendidikan. Tahapan yang perlu diperhatikan oleh penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, adalah: (1) melakukan konseptualisasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (2) spesifikasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (3) pengembangan prototipe layanan pendidikan; (4) pengujian dan evaluasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (5) operasi; dan (6) produk atau output layanan pendidikan (lulusan).
  6. f. Metode proyeksi. Metode ini paling banyak dipakai dalam perencanaan pendidikan di tingkat mikro (lembaga satuan pendidikan). Perencanaan pendidikan yang menggunakan metode proyeksi, akan menghasilkan cara (metode) pemecahan masalah penduduk lima tahunan, data persekolahan, proyeksi penduduk usia sekolah, proyeksi siswa, proyeksi ruang kelas, dan proyeksi kebutuhan guru. Dalam metode ini paling tidak ada tiga metode proyeksi, yaitu:

1)    Angka pertumbuhan siswa. Angka pertumbuhan siswa adalah perhitungan kenaikan siswa setiap tahunnnya, dengan menggunakan rumus:

Sn-1 – Sn-2

Apn =                                   X 100 %

Sn-2

Keterangan:

Apn  = Angka Pertumbuhan siswa tahun n

Sn-1 = Siswa tahun n-1

Sn-2 = Siswa tahun n-2

2)    Kohort siwa. Kohort adalah satu angkatan siswa yang masuk kelas 1 (awal) sampai tamat sekolah. Contoh, pada tahun pelajaran 2010-2011 siswa yang masuk kelas VII SMP/ MTs berjumlah 500 orang,kemudian tiga tahun berikutnya  2012-2013 yang lulus adalah 470 siswa (94%), sedangkan yang tidak lulus 30 siswa (6 %).

3)    Arus siswa. Proyeksi arus siswa ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat dan tepat karena memberikan data yang mendekati kenyataan. Hal ini disebabkan proyeksi ini menggunakan berbagai parameter yang mengontrol hasil proyeksi tiga arus dari setiap tingkat, yaitu: (a) angka mengulang; (b) angka naik kelas; dan (c) angka putus sekolah (Usman, H. 2008).

2. Model perencanaan pendidikan

Ada beberapa model perencanaan pendidikan, yaitu: Pertama, model komprehensif. Model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara menyeluruh. Disamping itu, model ini berfungsi juga sebagai pedoman dalam menguraikan beragam rencana yang lebih khusus ke arah tujuan pendidikan yang lebih luas.

Kedua, model pembiayaan dan keefektifan biaya. Model ini digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan. Dengan model ini dapat diketahui proyek layanan pendidikan yang mana yang paling layak atau terbaik untuk didanai dan dikembangkan dibandingkan dengan proyek-proyek lainnya. Model ini hampir sama dengan pendekatan untung rugi.

Ketiga,  model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan. Model ini banyak dipergunakan pada perencanaan pendidikan perguruan Tinggi Negeri. PPBS meruapakan suatu pendekatan sistematis dan komprehensif yang berusaha menentukan tujuan, mengembangkan program-program untuk dicapai dengan menggunakan anggaran seefisien dan seefektif mungkin, dan mampu menggambarkan kegiatan program pendidikan jangka panjang.

Keempat, model target setting.   Model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu. Dalam persiapannya diperlukan model untuk analisis demografis dan proyeksi penduduk, model untuk memproyeksikan jumlah peserta didik di sekolah, dan model untuk memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja. Persoalan yang muncul adalah, model yang manakah yang paling baik diterapkan dalam penyusunan perencanaan pendidikan?, Menurut para ahli sebaiknya model perencanaan pendidikan yang dipakai dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah mengintegrasikan beberapa model tersebut di atas, dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing lembaga pendidikan  (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).

  1. D. Kesimpulan

Uraian tentang konsep perencanan pendekatan dan model perencanaan pendidikan tersebut di atas dapat diambil pokok-pokok kajian sebagai kesimpulan sebagai berikut.

Pertama,  bahwa  konsep yang ada dalam pengertian perencanaan pendidikan, paling tidak mengandung lima hal, yaitu: (a) suatu rumusan rancangan  kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan; (b) memuat prosedur dalam  proses kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (c) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga satuan pendidikan; (d) memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan (e) menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas. Kedua,  manfaat perencanaan pendidikan adalah dapat digunakan sebagai: (a) standar pelaksanaan dan pengawasan proses layanan  pendidikan; (b) media pemilihan berbagai alternatif langkah strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (c) media mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya lembaga pendidikan; (d) media untuk memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; dan (e) alat dalam mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan.

Ketiga, suatu perencanaan pendidikan, paling tidak memiliki ciri atau karakteristik, yaitu perencanaan pendidikan harus: (a) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan diwujudkan; (b) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu yang akan dicapai secara berkesinambungan; (c) mengutamakan nilai-nilai manusiawi dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (d) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara maksimal; (e) komprehensif dan sistematis serta disusun secara logis, rasional; (f) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia  yang berkualitas; (g) dikembangkan dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis; (h)  menggunakan sumber daya (resources) internal dan eksternal secermat mungkin; (i) berorientasi kepada masa dating atau visioner; dan (j) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di masyarakat dan bersifat dinamik; dan (k) merupakan sarana untuk mengembangkan inovasi pendidikan.

Keempat, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) prinsip interdisipliner; (b) prinsip fleksibel; (c) prinsip efektifitas-efisiensi; (d)   prinsip progress of change; (e)  prinsip objektif, rasional dan sistematis; dan (f)  prinsip kooperatif-komprehensif; dan (g) prinsip human resources development. Kelima, beberapa tahapan yang semestinya harus dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) tahap need assessment; (b)  tahap formulation of goals and objective; (c)   tahap policy and priority setting; (d) tahap program and project formulation; (e) tahap feasibility testing; (f) tahap plan implementation; dan (g)   tahap evaluation and revision for future plan. Keenam, ada beragam pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach); pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach).

Ketujuh, beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan, antara lain: (a) metode analisis sumber-cara-tujuan; (b) metode analisis masukan-keluaran; (c) metode analisis ekonometrik; (d) metode diagram sebab akibat; (e) metode analisis siklus kehidupan; dan (f) metode proyeksi. Kedelapan, ada beberapa model perencanaan pendidikan, yaitu: (a) model komprehensif, model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara menyeluruh; (b) model pembiayaan dan keefektifan biaya,  model ini digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan; (c)  model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan; dan (d)  model target setting, model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Abin, S. Makmun, dkk. 2001. Perencanaan Pembangunan Pendidikan. Depdiknas. Jakarta.

Atmadi, A dan Setiyaningsih (Ed). 2000. Transformasi Pendidikan, Memasuki Milenium Ketiga. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Arifin, 2007. “Problematika SDM Guru Dalam Penerapan KTSP (Sebuah Renungan mencari jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. No. 08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.

Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Bumi Aksara. Jakarta.

Banghart, F.W and Trull, A. 1990. Educational Planning. New York: The MacMillan. Company.

Bell Gredler, Margaret E., 1986. Learning and Intruction: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Company.

BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.

Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980. Education and Communication for Development,  Oxford & LBH Publishing C.O. New Delhi.

Depdiknas, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Jakarta.

____, 2003, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.

____, 2005,a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.

____, 2005,b. Standar Nasional Pendidikan. PP. Nomor 19 Tahun 2005. Depdiknas, Jakarta.

____, 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.

Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. IKIP. Yogyakarta

Langgulung, H., 1992. Asas-asas Pendidikan Islam. Pustaka Al Husna. Jakarta

Mulyasa, E. 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007. Perencanaan Pendidikan, Suatu Pendekatan Komprehensif. Remaja Rosdakarya. Jakarta.

Sagala, S. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta. Bandung.

Sanjaya, W., 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Soenarya, E. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Adicita. Yogyakarta.

Tilaar.H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Oliver, Paul, ed. 1996. The Management of Education Change. England: Asghate Publishing Limited.

Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan.Bumi Aksara. Jakarta.

Vebriarto. 1982. Pengantar Perencanaan Pendidikan. Penerbit Paramita. Yogyakarta.

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin,M.Si.

( Guru Sosiologi SMA Islam Malang, Dosen FISIP Unibraw Malang,

Alumni S3 Sosped Unibraw Malang )

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia, realitas tersebut didukung oleh data sebagai berikut: (a) merupakan negara yang mempunyai ±13.000 pulau; (b) jumlah penduduknya lebih dari 200 juta; (c) mempunyai ± 656 suku bangsa; (d) memiliki lebih dari 360 dialek bahasa lokal; dan (e) beragam Agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Soebadio, H., 1983; Yaqin, A.M. 2005). Kondisi kehidupan masyarakat yang multikultural tersebut secara makro dapat menjadi faktor pendorong atau penghambat proses pembangunan nasional dalam berbagai bidang (Koentjaraningrat, 1982; Ihromi, T.O., 1984). dan secara mikro, khususnya dalam proses pembelajaran di kelas akan dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran. Oleh karena itu setiap proses pembelajaran budaya (sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi) di setiap lembaga pendidikan seharusnya menerapkan konsep pendidikan multikultural dalam PBM di kelas, agar nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945 terbumikan dalam proses kehidupan sehari-hari menuju masyarakat yang integratif. Ada dua permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam karya tulis ini, yaitu: Apakah makna pendidikan multikultural?; dan Mengapa pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar di kelas?.

(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si.
(Guru Sosiologi SMA Islam Malang,
dan Dosen FISIP Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi membawa pengaruh perubahan yang luar biasa terhadap pola kehidupan ummat manusia di belahan bumi ini. Terjadi transformasi budaya pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga perubahan demi perubahan terus terjadi baik pada ranah kompleks ide, kompleks kelakuan berpola, dan kompleks sistem teknologi (Koentjaraningrat, 1982; Sztompka. 2004). Disamping itu era globalisasi yang ditandai dengan transformasi informasi-tehnologi (IT) mengkondisi proses-proses kehidupan di berbagai bidang berada pada arus high competition yang begitu cepat dan mendasar dengan membawa beragam resiko kehidupan (Giddens, A.. 2001). Perubahan fenomena kehidupan terkini tersebut, ditangkap oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan pada orientasi pembangunan nasional, yaitu dari lebih menekankan pada orientasi economic recource development, bergeser untuk mulai memperhatikan ke human resource development. Khususnya dibidang pendidikan pemerintah telah menyusun Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam rangka meningkatkan kualitas guru dan dosen, disusun pula Undang Undang No. 14 tahun 2005 tenang Guru dan Dosen, selanjutnya dikeluarkan Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, dan beberapa produk hukum lainnya. yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mereformasi pembangunan bidang pendidikan. Semua produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan realitas teoritik (das sollen ) tentang komitmen pemerintah untuk memajukan sistem pendidikan nasional.
Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas sehari-hari di lapangan (das sain), khususnya tentang kemampuan profesional guru masih belum terberdayakan secara maksimal, sehingga dari aspek pendidik banyak kendala yang muncul di lapangan dalam mengimplementasikan beragam peraturan tersebut (Depdiknas, 2006). Dalam dua tahun terakhir (sejak 2006) pemerintah telah memulai melakukan program sertifikasi guru, dan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas profesional guru. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa proses pembangunan pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan yaitu, adanya kesenjangan antara realitas teoritik (das sollen ) dengan realitas emipirik (das sain) dalam proses kualitas layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan analisis kajian deskriptif kualitatif, dengan fokus kajian tentang: Apa yang menjadi orientasi teoritik tentang agent of change?; (b) Bagaimana fungsi atau peran guru sebagai agent of change pembelajaran di kelas?; dan (c) Bagaimana langkah strategis dalam meningkatkan peran guru sebagai agent of change pembelajaran?.
(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.
( Guru Sosiologi di SMA Islam Malang, Dosen FISIP
di Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan
Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, bahwa tahun akademik 2006-2007 telah dimulai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun akademik 2007-2008 ini diharapkan lebih mantap pelaksanannya. Keberadaan KTSP tersebut apabila dicermati dan direnungkan dari dimensi paradigma pembelajaran, maka sejatinya visi dan misi yang diusung dalam KTSP adalah, mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process. Begitulah tuntutan das sollen (realitas teoritik) yang harus dipahami, direnungkan dan diaplikasikan oleh setiap insan yang memilih profesi guru di bumi pertiwi ini. Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas emprik (das sain) tentang potret kualitas guru di negeri tercinta ini masih sangat “memprihatinkan” (kalau tidak boleh dikatakan “sangat rendah”). Kesenjangan antara das sollen dan das sain tersebut yang “dibiarkan” mengalir mewarnai perjalanan sejarah layanan pendidikan di negeri ini, akan menjadi basic problem munculnya beragam persoalan mikro-makro bangsa yang begitu kompleks. Hal ini wajar sebab hakikat pembangunan adalah dari, oleh dan untuk manusia, yang berarti orientasi pembangunan pada people centered development paradigm menjadi kunci penyelesaian beragam poblem masyarakat.
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu sebuah rangkaian sistemik dalam mewujudkan bangunan yang kokoh bernama “Keberhasilan KTSP”. Dalam posisi kajian ini fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.
(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.*)

Pendahuluan
Paradigma pembangunan pendidikan dewasa ini telah bergeser dari pola teacher centered ke student centered learning, dari orientasi filosofis yang lebih menekankan dimensi obyektivis-positivis ke subyektivis-interpretif. Indikator yang memperkuat asumsi tersebut adalah: Pertama, digulirkannya kebijakan pemerintah tentang penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, yang sejatinya keberadaan KTSP tersebut telah memberi peluang cukup signifikan terjadinya kreatifitas lokal (local genius) dalam pengembangan pembelajaran di sekolah, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi keilmuan yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan); Kedua, sistem evaluasi pembelajaran yang harus dikembangkan guru adalah penilaian internal (internal assessment) yang terjelma dalam model penilaian kelas yang dilakukan melalui beragam cara, yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya siswa (potofolio) dan penilaian diri (self assessment)
Apabila mencermati arah perkembangan pendidikan di era transformasi Iptek dan globalisasi kehidupan dewasa ini, nampak bahwa proses pembelajaran di kelas harus mampu mengarah pada upaya membangun iklim belajar kompetitor, pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM), pembelajaran yang mampu mendorong siswa menginternalisasi dan mentransformasi pengetahuan yang baru. Pola strategi pembelajaran tersebut oleh para ahli sering disebut dengan pola pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis (Brooks & Brooks, 1999). Jadi, penguasaan pendekatan konstruktivis oleh setiap guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah suatu keharusan (keniscayaan) dalam rangka mengantarkan peserta didik mampu mengembangkan potensi diri secara maksimal. Persoalan yang muncul adalah: Apakah setiap guru dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas telah mempunyai background knowlidge tentang beragam inovasi pembelajaran termasuk pendekatan konstruktivis?, dan bagaimana Strategi penerapan pendekatan konstruktivisme dalam proses belajar mengajar di kelas?. Dua permasalah inilah yang menjadi fokus analisis kajian ini, dengan harapan mampu memberi alternatif wacana bagi guru tentang penerapan pendekatan konstruktivis dalam proses pembelajaran di kelas.

(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si. *)

Pendahuluan
Pola pelayanan pendidikan kedepan disetiap satuan pendidikan diantaranya adalah harus mampu menghasilkan: (a) Kualitas pola manajemen berbasis sekolah; (b) Kualitas proses pembelajaran di kelas; dan (c) Kualitas out put yang mampu menselaraskan dengan beragam tuntutan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu bersaing baik dalam ranah kompetisi lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu setiap layanan pendidikan pada satuan pendidikan harus betul-betul berorientasi pada standar mutu yang telah ditetapkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu: (a) standar Isi; (b) standar proses; (c) standar kompetensi lulusan; (d) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (e) standar sarana dan prasarana; (f) standar pengelolaan; (g) standar pembiayaan; dan (h) standar penilaian pendidikan (BSNP, 2006). Sebagian dari standar mutu yang ditetapkan oleh PP No. 19 tahun 2005 tersebut yang langsung bersentuhan dengan peran dan fungsi guru di sekolah adalah kualitas: standar isi, stándar kelulusan, standar proses, ,standar kualitas pendidik, dan stándar penilaian. Dalam rangka mengimplementasikan kualitas standar isi, kelulusan, proses dan penilaian, maka setiap guru dalam satuan pendidikan harus dilibatkan secara aktif dan proporsional dalam ’proses school self evaluation’ (SSE) atau proses evaluasi diri sekolah, karena keberadaan guru sangat sentral dalam menjamin kelangsungan kualitas layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan (Hamalik, O., 2002; Soetjipto dan Kosasi R. 1999). Disamping itu guru merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pembelajaran di sekolah, harus selalu melakukan proses evaluasi diri dalam kaitannya dengan pengembangan karir dan evaluasi diri dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar (PBM), serta evaluasi diri dalam kaitannya dengan pengembangan institusi pendidikan .
Permasalahannya adalah: Pertama, Mengapa proses school self evaluation (SSE) pada era sekarang dan yang akan datang merupakan suatu keharusan objektif (conditio sin cuanon) dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan?, dan Kedua, Bagaimana langkah-langkah strategis untuk meningkatkan peran guru dalam proses school self evaluation (SSE) menuju keunggulan layanan pendidikan?. Dua permasalahan inilah yang menjadi fokus kajian ini dengan harapan dari beberapa alternatif wacana yang tersajikan mampu menyentuh ranah fungsional guru dalam proses layanan pendidikan disetiap satuan pendidikan (Hamalik. 2002; Nasution, 2006). (more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si. *)

I. PENDAHULUAN
Pada era sekarang dan yang akan datang, paradigma layanan pendidikan harus berubah dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process (Arifin, 2007). Jadi, seluruh proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diorientasikan pada pemberdayaan siswa sesuai dengan keberagam potensinya masing-masing. Salah satu bagian kunci dalam proses layanan pendidikan anak atau proses pembelajaran siswa di sekolah adalah ‘membentuk karakter atau sikap mental positif’ siswa, karena terbentuknya sikap mental positif akan mampu mengantarkan setiap individu untuk meraih kesuksesan (Koentjaraningrat, 1982).
Ada beberapa rujukan teoritis tentang urgensinya pendidikan sikap mental manusia dalam proses pembangunan, yaitu: (a) teori n-Ach (the need for Achievement), oleh David Mc Clelland. Inti pandangan teori ini adalah ‘setiap individu yang selalu membangun prinsip sepanjang usia hidupnya harus terus berkarya dan berprestasi akan meraih banyak kesuksesan’. Berkarya adalah kebutuhan dasar dalam hidup; (b) Teori Mentalitas Manusia Modern, oleh Alex Inkels dan D.H. Smith. Salah satu ciri mentalitas modern adalah ‘terbuka, berorientasi ke depan dan kompetitif serta inovatif (Budiman, 1995); dan (c) teori Kepribadian Inovatif, oleh Max Weber dan E. Hagen. Salah satu ciri kepribadian inovatif adalah ‘selalu ingin tahu dan meneliti, mengambil tanggung jawab pribadi yang tinggi, terbuka dan tolerir, memaklumi heterogenitas dan selalu mendorong kreativitas dan inovasi di berbagai bidang’ (Sztompka,1993). Berdasarkan ketiga teori tersebut, menunjukkan aspek mentalitas manusia adalah faktor kunci dalam meraih kesuksesan hidup.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/ U/ 1984, tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kesiswaan dijelaskan bahwa, dua dari delapan materi pembinaan kesiswaan adalah: (a) pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur; dan (b) pembinaan ketrampilan dan kewirausahaan siswa. Salah satu cara dalam membina siswa pada aspek ketrampilan dan kewirausahaan adalah setiap satuan pendidikan harus ada Koperasi Siswa (Kopsis). Persoalan yang muncul adalah, bagaimana cara yang dapat ditempuh dalam menumbuhkan sikap mental wirausaha siswa di sekolah melalui lembaga Kopsis sekolah?. Persoalan inilah yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini. Sebenarnya banyak aspek yang bisa dikaji dalam membahas tentang peran Kopsis bagi siswa, namun karena keterbatasan ruang dan waktu, maka fokus kajian hanya pada aspek peran Kopsis dalam pendidikan sikap mental kewirausahaan siswa. (more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si. *)

A. Landasan Konsepsional Komite Sekolah.

Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Kepmendiknas, Nomor 004/U/ 2002).
Pembentukan Komite Sekolah, yang telah ditetapkan dalam Keputusan Mendiknas No. 004/ U/2002, merupakan amanat dari UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan Komite Sekolah dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/ masyarakat ( school / community based management) (Depdiknas, 2003). Pembentukan Komite Sekolah menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah diwadahi dalam pasal 56 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dari ayat 1 sampai 4. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003, pasal 56 ayat 3 disebutkan, bahwa ”Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.
Agar Komite Sekolah mampu melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol (controlling); dan (d) mediator, maka segala potensi yang ada pada kepengurusan Komite Sekolah harus terus diberdayakan secara maksimal. Ada tiga bagian penting yang bisa diupayakan dalam pemberdayaan Komite Sekolah, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan Komite Sekolah; (2) Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah; dan (3) Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah (Depdiknas, 2006).

B. Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah.

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya penguatan kelembagaan Komite Sekolah, yaitu: (1) Prinsip-prinsip yang menjadi fondasi pembentukan Komite Selah; (2) Melaksanakan peran dan fungsi Komite Sekolah untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan; dan (3) Membangun hubungan kemitraan dan kerjasama secara sinergis antara Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Pertama, ada tujuh langkah baku pembentukan Komite Sekolah, yaitu: (1) Melakukan (forum) sosialisasi pembentukan komite sekolah; (2) penyusunan kriteria dan identifikasi bakal calon anggota (berdasarkan usulan masyarakat); (3) seleksi anggota berdasarkan kriteria; (4) pengumuman nama-nama bakal calon anggota guna menampung bila ada keberatan terhadap satu atau lebih bakal calon; (5) pengumuman nama-nama calon yang sudah disepakati masyarakat; (6) pemilihan komite sekaolah berdasarkan musyawarah mufakat atau pemungutan suara; dan (7) penyampaian nama-nama komite sekolah terpilih.
Kedua, peran dan fungsi Komite Sekolah adalah: Komite Sekolah berperan sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol (controlling); dan (d) mediator. Sedangkan fungsi komite sekolah adalah: (a). Mendorong berkembangnya komitmen masyarakat thd kualitas pendidikan; (b) Melakukan kerjasama dg masyarakat dan pemerintah ttg kualitas pendidikan; (c) Menampung, menganalisis ide, aspirasi berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat; (d) Memberi masukan, pertimbangan, rekomendasi pada sekolah ttg: Kebijakan program pendidikan; RAPBS; Kriteria tenaga kependidikan, fasilitas sekolah; dan kinerja satuan pendidikan; (e) Mendorong ortu dan masyarakat berpartisipasi dalam peningkatan kual pend; (f) Menggalang dana masyarakat untuk kualitas layanan pendidikan; dan (g) Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program kualitas layanan pendidikan.
Ketiga, membangun hubungan kemitraan dan kerjasama secara sinergis antara Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Unsur-unsur yang membentuk komunitas sekolah adalah terdiri dari individu dan kelompok, kelompok dalam satuan
pendidikan, orang tua dan keluarga serta masyarakat di sekitar satuan pendidikan tersebut. Unsur-unsur tersebut harus terbangun jalinan hubungan kemitraan secara sistemik, sebagaimana yang tergambar pada gambar berikut ini:

Prinsip kemitraan adalah (a) Saling membutuhkan; (b) Saling mempercayai; (c) Saling ”menguntungkan” (memberi manfaat); dan (d) Dilandasi kemitraan dan semangat untuk kepentingan bersama.

C. Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah, yaitu: (1) Memutar roda organisasi dan manajemen Komite Sekolah; (2) Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dan (3) Menjalin hubungan dan kerjasama Komite Sekolah dengan Institusi yang terkait.
Pertama, memutar roda organisasi dan manajemen Komite Sekolah. Agar program organisasi dan manajemen Komite Sekolah bisa berjalan dengan baik, maka fungsionaris organisasi itu harus membangun kinerja dalam suatu Teamwork. Sifat teamwork adalah anggota tim secara aktif bekerja bersama sedemikian rupa sehingga keahlian masing-masing dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama. Ciri-ciri anggota tim yang baik, adalah: (a) memberi semangat pada anggota tim yang lain untuk berkembang; (b) respek dan toleran terhadap pendapat berbeda dari orang lain; (c) mengakui dan bekerja melalui konflik secara terbuka; (d) mempertimbangkan dan menggunakan ide dan saran dari orang lain; (e) membuka diri terhadap masukan (feedback) atas perilaku dirinya; (f) mengerti dan bertekad memenuhi tujuan dari tim; (g) tidak memposisikan diri dalam posisi menang atau kalah terhadap anggota tim yang lain dalam melakukan kegiatan; dan (h) memiliki kemampuan untuk mengerti apa yang terjadi dalam tim. Agar roda organisasi sebagai suatu teamwork bisa berjalan dengan baik, maka keahlian-keahlian yang perlu dimiliki tim dan harus dikembangkan adalah: (a) keahlian teknis; (b) keahlian konseptual; (c) keahlian interpersonal; dan (d) keahlian administrasi. Diantara manfaat bekerja dalam sebuah tim yang baik adalah: (a) dapat menciptakan model pemecahan masalah yang lebih tepat; (b) menghemat waktu untuk pekerjaan yang tidak ada manfaatnya; (c) penghematan biaya; (d) dapat menghitung faktor-faktor resiko yang dapat diperhitungkan secara finansial; dan (e) memperluas promosi dan dalam kasus bisnis dapat memperluas pangsa pasar.
Kedua, penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Komite Sekolah harus berperan aktif dalam proses penyusunan RPS. Komponen utama RPS adalah: (a) visi dan misi; (b) tujuan; (c) kegiatan; (d) sasaran; (e) anggaran; (f) penjabaran; dan (g) pengorganisasian. Sedangkan konsep rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) adalah meliputi: (a) latar belakang; (b) gambaran pendidikan dan non pendidikan tahun sebelumnya; (c) permasalahan kedepan yang dihadapi sekolah; (d) visi dan misi sekolah; (e) tujuan/ perubahan yang diinginkan; (f) indikator keberhasilan; (g) rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah tahun
pelajaran; (h) lampiran-lampiran ( arus murid selama 3 tahun terakhir; aset sekolah; rencana 5 tahun ke depan; sasaran dan anggaran dan sumber sumber pembiayaan pendidikan). Kemudian data yang diperlukan dalam membuat RAPBS adalah: profil sekolah; data murid per kelas tiga tahun terakhir; asal murid; latar belakang sosial ekonomi orang tua; data yang menggambarkan kondisi lingkungan sekolah; peta lokasi sekolah; info tentang kepadatan penduduk dan mata pencahariannya; data guru dan tenaga administrasi sekolah.
Proses penyusunan RPS/RAPBS adalah: (a) kepala sekolah dan komite sekolah membentuk tim penyusunan (TP) RPS dan RAPBS; (b) dalam waktu paling lambat 3 harii kerja TP mengadakan rapat persiapan dan menyusun rencana kerja; (c) TP menyusun draf awal RPS/ RAPBS; (d) TP mempresentasikan dalam rapat dewan guru dan anggota komite sekolah untuk mendapat masukan; (e) TP melakukan review draf awal; (f) TP menyusun draf final setelah menerima masukan dari dewan guru dan anggota komite sekolah; dan (g) pengesahan RPS/RAPBS.
Ketiga, menjalin hubungan dan kerjasama Komite Sekolah dengan Institusi yang terkait. Hubungan dan kerjasama komite sekolah dengan institusi yang terkait dalam dilakukan dalam koridor channeling program pendidikan. Kerjasama channeling program pendidikan adalah suatu bentuk kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh komite sekolah dengan pihak lain (swasta, pemerintah, lembaga peduli pengembangan pendidikan) yang berlandaskan kemitraan dan kepentingan bersama dalam rangka mencapai tujuan peningkatan mutu layanan pendidikan untuk rakyat tidak mampu.
Alasan pentingnya membangun kerjasama dengan institusi terkait adalah: (a) persoalan yang dihadapi oleh semua pihak makin kompleks; (b) keterbatasan sumber daya di semua pihak yang terkait; dan (c) perlu sinergi potensi dan sumber daya untuk optimalisasi penanganan persoalan bersama. Sedangkan pola hubungan sinergi potensi adalah: (a) punya tujuan bersama; (b) berorientasi pada hasil bersama; (c) hasil bersama lebih dari penjumlahan hasil masing-masing; (d) proses mengembangkan alternatif ketiga secara bersama; dan (e) kerjasama secara kreatif. Tujuan channeling program pendidikan adalah: (a) terwujudnya tatanan komite sekolah yang mampu mengakses dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian rencana program sekolah; (b) terciptanya sinergi antar pemangku kepentingan (komite sekolah, masyarakat, pemerintah, dan kelompok-kelompok peduli) untuk lebih mengoptimalkan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pendidikan untuk rakyat tidak mampu. Sedangkan sasaran channeling program pendidikan adalah: (a) dihasilkannya kerjasama komiet sekolah dengan berbagai pihak yang memiliki sumber daya potensi; (b) tumbuhnya tatanan komite sekolah yang inklusif sebagai wujud tanggungjawab bersama pelaku pendidikan, masyarakat, pemerintah dan kelompok peduli (LSM, swasta, asosiasi, universitas dll); (c) terwujudnya komite sekolah yang memiliki ”posisi tawar” baik dengan pemerintah maupun swasta; (d) terimplementasikannya penyelesaikan seluruh program komite sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan dan pendidikan untuk rakyat miskin; dan (e) optimalisasi akses pendidikan bagi masyarakat miskin, dan dihasilkannya sinergi dan integrasi peningkatan mutu pendidikan.

D. Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah, yaitu: (1) wawasan tentang sekolah sebagai suatu sistem; (2) wawasan tentang manajemen berbasis sekolah (MBS); dan (3) wawasan tentang pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
Pertama, wawasan tentang sekolah sebagai suatu sistem. Sekolah sebagai suatu sistem berarti beberapa elemen satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Beberapa elemen sekolah sebagai sistem adalah: peserta didik, kepala sekolah; pendidik/ guru; Staf tata usaha; Kurikulum; Fasilitas pendidikan. Sekolah sebagai suatu sistem dapat diringkas dalam gambar sebagai berikut:

Kedua, wawasan tentang manajemen berbasis sekolah (MBS). Landasan yuridis formal MBS adalah UU Nomor 20 tahun 2003, pasal 51 ayat 1. MBS adalah bentuk pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada sekolah untuk merencanakan, dan menilai program sekolah. Kewenangan tersebut al: (1) Menentukan program sekolah; (2) Merencanakan bagaimana memperoleh dana sekolah dan penggunaannya; (3) Mengatur jadwal belajar; (4) Menentukan jumlah siswa baru yang diterima; dan (5) menentukan jumlah tenaga guru honorer yang diperlukan. Tiga pilar program MBS, yaitu: (1) Manajemen Sekolah (Demokratis, Transparan dan Akuntabilitas); (2) PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); dan (3) PSM (Peran Serta Masyarakat), dalam hal: Merencanakan program; Mengambil keputusan; Meningkatkan mutu pembelajaran; dan Membangun sekolah (sarana pembelajaran Mengapa orang tua dan masyarakat harus ikut membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan di sekolah?, paling tidak ada lima hal, yaitu: (a) pendidikan merupakan tanggungjawab bersama (orang tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah); (b) pendidikan yang dibutuhkan anak tidak seluruhnya dapat diberikan oleh guru dan sekolah; (c) sarana pembelajaran yang dibutuhkan oleh anak di sekolah belum memadai; (d) sangat diperlukan pengadaan dan peningkatan sarana pendukung pembelajaran; dan (e) sekolah memerlukan bantuan pemikiran atau gagasan dari orang tua dan masyarakat untuk kemajuan sekolah. Ketiga, wawasan tentang pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
______, 2003. Acuan Operasional dan Indikator Kinerja Komite Sekolah. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
______, 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Rosidi, S., 2003. Kebijakan Pendidikan dan Dewan Pendidikan Kota Malang. Dewan Pendidikan Kota Malang.
Sindhunata, (ed), 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Kanisius. Yogyakarta.
Tilaar, 2002. Membedah Pendidikan Nasional. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

*) Penulis adalah Ketua Komite SDN Sawojajar Malang, Guru dan Dosen di Malang. Makalah ini disajikan pada kegiatan Workshop atau Temu Koordinasi dan Penyegaran Informasi Fungsionaris Komite Sekolah Tingkat Regional (Jawa Timur)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.
( Guru Sosiologi di SMA Islam Malang, Dosen FIS di Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan

Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, bahwa tahun akademik 2006-2007 telah dimulai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun akademik 2007-2008 ini diharapkan lebih mantap pelaksanannya. Keberadaan KTSP tersebut apabila dicermati dan direnungkan dari dimensi paradigma pembelajaran, maka sejatinya visi dan misi yang diusung dalam KTSP adalah, mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process. Begitulah tuntutan das sollen (realitas teoritik) yang harus dipahami, direnungkan dan diaplikasikan oleh setiap insan yang memilih profesi guru di bumi pertiwi ini. Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas emprik (das sain) tentang potret kualitas guru di negeri tercinta ini masih sangat “memprihatinkan” (kalau tidak boleh dikatakan “sangat rendah”). Kesenjangan antara das sollen dan das sain tersebut yang “dibiarkan” mengalir mewarnai perjalanan sejarah layanan pendidikan di negeri ini, akan menjadi basic problem munculnya beragam persoalan mikro-makro bangsa yang begitu kompleks. Hal ini wajar sebab hakikat pembangunan adalah dari, oleh dan untuk manusia, yang berarti orientasi pembangunan pada people centered development paradigm menjadi kunci penyelesaian beragam poblem masyarakat.
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu sebuah rangkaian sistemik dalam mewujudkan bangunan yang kokoh bernama “Keberhasilan KTSP”. Dalam posisi kajian ini fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.

Landasan yuridis dan teoritik pembelajaran dalam KTSP
Keberadaan KTSP dapat dikatakan sebagai salah satu indikator upaya pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) dalam proses pembangunan pendidikan yang memperhatikan aspek human resource development. Perubahan orientasi pembangunan Nasional dari economic recource development ke human resource development, khususnya dibidang pndidikan nampak dalam rumusan Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISPENAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang didalamnya memuat tentang: standar Isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (BSNP, 2006). Dari UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tersebut, kemudian disusun Permendiknas No. 24 tahun 2006, yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun pelajaran 2006-2007 dimuli disemua jenjang pendidikan dari SD sampai SMA/SMK.
Paradigma pembelajaran yang diusung dalam KTSP sejatinya adalah pembelajaran yang berorientasi pada perpaduan teori atau prinsip pembelajaran konstruktivisme dan penerapan prinsip resource-based learning. Prinsip pendekatan konstruktivis, model pembelajaran di kelas harus didesain dengan pola: (a) siswa diharapkan tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi didorong untuk mampu menyerap beragam ilmu pengetahuan yang ada di sekelilingnya, untuk kemudian mampu membangun dan mengembangkan sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan; (b) proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa secara mandiri untuk mentransformasi pengetahuan dan ketrampilan baru sesuai dengan kemampuan dirinya (Brook, 1999); (c) proses pembelajaran di kelas harus menggunakan beberapa strategi dan inovasi pembelajaran tentang bagaimana caranya agar siswa yang mempunyai keberagaman intelektual, sosial-kultural tersebut mampu membangun pengetahuan baru dengan bantuan pengalaman, pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya; (d) proses pembelajaran di kelas harus di desain dengan pola pembelajaran yang merangsang anak untuk senang kepada tantangan baru, gemar melakukan analisis dan penemuan baru, siswa harus dipandang sebagai ilmuwan kecil dengan segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing; dan (e) proses pembelajaran berdasarkan KTSP hakikatnya adalah, adanya pengakuan akan eksistensi siswa di kelas sebagai insan yang serba beragam dalam segala kemajemukan: pengetahuan, ketrampilan, emosi, keyakinan, cita-cita, yang akan dikomandani oleh guru yang bertindak sebagai teladan, pembimbing dan motivator bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dirinya. Untuk bisa menerapkan prinsip pembelajaran tersebut setiap guru harus mampu menerapkan prinsip resource-based learning (memberdayakan semua sumber-sumber belajar) dalam proses pembelajaran. Disinilah letak urgensi kualitas guru dalam mensukseskan proses pembelajaran berdasarkan KTSP.

Problema kualitas guru dan alternatif pemecahannya
Ada tujuh prinsip dalam pelaksanaan KTSP di setiap satuan pendidikan, yaitu: (a) didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi siswa untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya; (b) menegakkan kelima pilar belajar, yaitu belajar untuk: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Y.M.E; memahami dan menghayati; mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan membangun, menentukan jati diri; (c) memungkinkan siswa mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke Tuhanan, keindividuan, kesusilaan dan moral; (d) tercipta suasana hubungan siswa dan pendidik yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo; (e) menggunakan pendekatan multi-strategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; (f) mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal; dan (g) mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan (BSNP, 2006). Untuk merealisasikan tujuh prinsip tersebut sangat dibutuhkan SDM guru yang berkualitas.
Ada beberapa kendala (problem) tentang kualitas guru dalam mensukseskan pelaksanaan KTSP, diantaranya adalah: Pertama, secara makro ditinjau dari jenjang pendidikan formal atau kelayakan akademik guru di Indonesia masih dalam kategori rendah. Berdasarkan data Depdiknas, sekitar 2, 6 juta guru di Indonesia masih terdapat 912.505 guru yang tidak layak mengajar di kelas dan 15 % diantaranya mengajar tidak sesuai dengan keahliannya (Depdiknas, 2006). Diantara alternatif pemecahannya adalah pemerintah harus sungguh-sungguh dalam memberikan beragam kemudahan bagi guru untuk mengakses peningkatan kelayakan akademiknya (melalui pemberian beasiswa melanjutkan studi, diklat, penataran, workshop dan sejenisnya). Disamping itu setiap guru yang hendak meningkatkan kualitas formal akademiknya harus betul-betul disesuaikan dengan bidang keahlian mengajar di kelas, tidak hanya sekedar meraih gelar sarjana; Kedua, masih banyak guru yang terpaku pada mindset pembelajaran teacher centered (Adi, 2007) dengan one texbook information. Apabila fenomena ini tetap bertahan mewarnai poses pembelajaran di kelas tentu sangat mengerikan bagi kelangsungan pembelajaran berdasarkan KTSP. Alternatif pemecahan problem kedua ini tentu sangat bersifat internal, artinya hati dan pikiran guru itu sendiri harus sungguh-sungguh mau berubah untuk terus belajar meningkatkan kuaitas keahliannya atau profesinya. Setiap guru harus terus menyalakan sikap mental need for achievement (berprestasi sebagai kebutuhan dasar) sepanjang meniti karir profesi guru. Tanpa ada kemauan internal guru untuk berubah secara kokoh, apapun usaha pemerintah dan lembaga satuan pendidikan dalam memajukan layanan pendidikan akan tetap sia-sia.
Ketiga, masih banyak guru yang tidak memahami beragam inovasi pembelajaran dan bagaimana penerapannya di kelas. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan semangat inovasi pembelajaran yang tersirat dalam KTSP. Diantara alternatif pemecahan masalah ini adalah, setiap satuan pendidikan harus dibentuk team ahli inovasi pembelajaran yang secara optimal bersama-sama memberdayakan potensi setiap guru untuk meningkatkan penguasaan metode pembelajaran dengan meminimalisir prinsip what should be learned (apa yang harus dipelajari) untuk mengedepankan prinsip how to think (bagaimana berpikir) (Winarno, 1998). Oleh karena itu dalam konteks metode pembelajaran, setiap guru harus menegakkan empat pilar, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar, 2000). Jadi, dalam konteks ini setiap guru harus cerdas membaca perkembangan jaman atau tanggap terhadap perkembangan Iptek, harus punya ambisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan atau keahlian akademiknya (bukan ambisi cari jabatan struktural), selalu berinovasi dalam pembelajaran melalui kegiatan classrom action research (PTK) atau kegiatan kajian pengembangan keilmuan.
Keempat, lembaga satuan pendidikan sebagai wadah aktualisasi guru dalam meniti karir profesi, pada tataran aplikatif sehari-hari masih ada kecenderungan hubungan disharmonis antar guru karena beragam kepentingan dan sudut pandang. Apabila hal ini tidak segera terselesaikan, sedikit banyak akan mengganggu keharmonisan dalam layanan pendidikan sesuai dengan KTSP. Dalam konteks organisasi satuan pendidikan, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui proses: (a) system thinking; (b) mental models; (c) personal mastery; (d) team learning; (e) shared vision; dan (f) dialog (Peter dalam Soetrirno, 2002). Diantara alternatif pemecahan problem keempat ini adalah, membentuk atau membangun kemauan sikap mental setiap guru untuk belajar dan bekerjasama sesama guru dengan hati yang tulus-ikhlas, membangun kualitas kepribadian. Oleh karena itu kedudukan dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus: berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis dalam satuan pendidikan; berfikir integral dalam mencermati fenomena pendidikan; mampu membangkitkan learning organization; mendorong dan memberi peluang pada setiap guru/ anak buah untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan aset satuan pendidikan; dan mampu membangun atau mewujudkan regenerasi yang visioner.
Kelima, kondisi tingkat kesejahteraan finansial guru yang masih “relatif” rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru termasuk salah satu faktor penyebab “rendahnya” kualitas layanan guru dalam poses pembelajaran di kelas (Tilaar, 2002). Masih banyak dijumpai pendapatan guru dalam satu bulan di bawah dua ratus ribu rupiah dengan segudang tangggungjawab, jauh dibawah UMR, terutama para GTT baik dari jenjang SD sampai SMA. Diantara solusi dalam mengatasi permasalahan ini antara lain: (a) Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dalam APBN/APBD; (b) Komite Sekolah bersama Kepala Sekolah dan dewan guru harus berusaha meningkatkan Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam mendukung proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, untuk dikelola secara transparan dan tanggungjawab; dan (c) Pemerintah atau lembaga pendidikan harus menerapkan sistem pemberian “reward” (hadiah), insentif yang sangat memadai bagi guru yang berdedikasi, berprestasi baik secara akademik, kepribadian atau profesi. Peluang untuk mendapatkan reward atau insentif tersebut harus terbuka dan terus disosialisasikan ke setiap guru. Ada kecenderungan pola budaya yang berkembang di masyarakat tentang nilai penghargaan (reward) pada insan yang berprestasi dibidang akademik (Iptek), jauh lebih rendah penghargaan finansialnya apabila dibandingkan dengan prestasi dibidang non akademik. Fenomena ini tentu menjadi salah satu faktor penghambat rendahnya minat anak bangsa dalam meminati dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kesimpulan
Uraian di atas memberikan sebuah wacana atau renungan, bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan pelaksanaan KTSP adalah tersedianya kualitas sumber daya guru, baik secara akademik, kepribadian dan profesinya. Ketiadaan kualitas SDM Guru di setiap satuan pendidikan, akan berdampak pada kegagalan pelaksanaan KTSP. Upaya mengatasi problem “rendahnya” kualitas guru harus secara seimbang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah pandangan, motivasi dan tujuan guru itu sendiri, bersedia atau tidak untuk terus berada di garis perubahan dan inovasi pembelajaran. Sedangkan pihak eksternal adalah pihak pemerintah dengan segenap strategi kebijakannya, kepala sekolah dan iklim atau kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Sudah barang tentu setiap insan pendidik di negeri tercinta ini mendambakan potret layanan pendidikan anak bangsa ke depan tetap berada dalam bingkai penuh kesuksesan dan kemajuan. Insya Allah!

DAFTAR PUSTAKA
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Koentjaraningra, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISPENAS).
Nasution, 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Adi, T. 2007. “Selamat Datang KTSP”, Jurnal Media. N0. 3/ Th. XXXVII/ Mei 2007. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.

Read Full Post »