Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si *)
Dalam perspektif sosiologi, makna keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu: Keluarga inti (nuclear family, ayah-ibu-anak) dan Keluarga luas (extendet family, kerabat istri dan kerabat suami), disamping itu keluarga merupakan kelompok sosial yang paling penting, paling mendasar dan sangat menentukan dalam: (a) Proses sosialisasi (pembelajaran peran-peran sosial); (b) Proses internalisasi (pembentukan akhlak/ kepribadian); dan (c) Proses enkulturasi (pembelajaran akan aturan dan norma budaya) bagi anak. Oleh karena itu kondisi keluarga yang disintegrasi (mengalami kehancuran dalam proses interaksi) akan berpotensi untuk membentuk pola perilaku ayah, ibu dan anak yang eror/rusak. Karena posisi keluarga sangat sentral dalam proses membentuk pola perilaku ayah, ibu dan anak, maka Islam memandang bahwa kolektif keluarga merupakan kunci meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Oleh karena itu setiap pribadi muslim harus berjuang dengan sungguh-sungguh dalam upaya membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rakhmah (Q.S.30/ Ar Rum: 21. Dalam perspektif Islam, ada beberapa metode atau cara dalam membangun ukhuwwah / integrasi / kesatuan keluarga menuju rumah tangga yang meraih ketenangan, terlindungi dan penuh kebahagiaan lahir dan batin, antara lain:
Pertama, awali, mulailah dalam membangun keluarga dengan niat ibadah. Atau pilihlah jodoh karena kesamaan dalam agama Islam, jangan memilih hanya karena keturunan, atau cantik-tampan, atau kekayaannya. Memilih jodoh dengan motivasi ibadah karena Allah atau melilih karena pertimbangan kualitas ibadahnya, adalah awal dalam meraih keluarga yang sakinah, mawaddah wa rakhmah (HR. Bukhari-Muslim). Setelah menjadi suami istri, masing-masing harus selalu berusaha berbuat baik/ amal shalih untuk keluarga dan orang lain atas dasar iman yang suci (bersih dari kesyirikan. Allah S.W.T berfirman dalam Q.S.16/ An Nahl: 97, yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Kedua, berjuanglah setiap hari untuk shalat berjamaah (Ayah, ibu dan anak, meskipun tidak lima waktu) dan setiap hari ada yang membaca/ mengkaji Al Qur’an. Shalat jamaah adalah usaha menyatukan ghirah (semangat) ayah, ibu dan anak dalam melakukan komunikasi spiritual pada Sang Pemilik Hidup ini (Allah S.W.T) untuk menghadapi beragam ujian hidup dalam rumah tangga. Shalat yang khusyuk akan mampu mencegah berbuatan keji dan mungkar dalam keluarga (Q.S.29/ Al Ankabut: 45). Disamping itu setiap hari upayakan di rumah ada yang mengkaji dan membaca Al Qur’an. Membaca atau mengkaji Al Qur’an adalah salah bentuk dzikir kepada Allah, sehingga hati menjadi tenang dan insya Allah rumah itu akan terakhmati oleh-Nya (Q.S.13/ Ar Ra’d: 28 ).
Ketiga, suami, Istri dan anak harus berjuang seiring-seirama disetiap detik untuk membangun sikap mental dan perilaku sabar dan tawakkal. Hanya dengan perilaku sabar dan tawakkal yang akan mampu menyelesaikan beragam ujian hidup keluarga di sepanjang usianya. Allah S.W.T akan menguji setiap hamba melalui pintu: (a) kegalauan, kegelisahan hati-pikiran; (b) ketebatasan diri manusia; (c) terkurangi harta miliknya; (d) sehat dan sakit fisiknya; dan (e) tempat dia mencari rizqi (Q.S.2/ Al Baqarah: 155). Sabar dan tawakkal pada Allah S.W.T akan mampu mengeluarkan manusia dari beragam ujian tersebut.
Keempat, bekerja, dan berkaryalah terus tanpa henti dengan bekal kemampuan yang dimiliki masing-masing. Suami-istri dan anak harus terus berkarya, bekerja dan beramal dengan baik, dan orientasinya (tujuan akhir) hanya mengharap pertolongan dan ridha Allah semata. Jangan sekali-kali bekerja, berkarya dalam keluarga karena ingin dipuji oleh suami-istri, anak dan mertua atau orang lain. Kesalahan orientasi dan motivasi dalam berkarya adalah sumber bencana dalam rumah tangga (Q.S. 6/ Al An’am: 82; Q.S. 17/ Al Isra’: 22; Q.S. 94/ Al Insyirah: 7-8; Q.S. 46/ Al Ahqaaf; 19). Kesalahan tujuan, motivasi dan orientasi dalam bekerja, berkarya akan memunculkan sikap tercela, yaitu: iri-dengki, egoisme, sombong, mudah mencaci maki sesama anggota keluarga ( Q.S. 49/ Al Hujurat: 11-12); dan menganggap dirinya paling berjasa dalam keluarga, paling baik, paling suci dalam hidup (Q.S. 53/ An Najm: 32). Baik suami atau istri harus saling membantu dengan tulus dan sesuai dengan kemampuannya dalam persoalan pemenuhan kebutuhan materi, renungkan firman Allah dalam Q.S. 65/ Ath Thalaq: 6, yang artinya “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
Kelima, berjuanglah terus setiap detik untuk membangun akhlak mulia, yaitu: (a) ikhlas dalam berbuat; (b) saling menolong antar suami-istri-anak dan anggota kerabat, renungkan firman Allah S.W.T dalam Q.S. 9/ At Taubah: 71, yang artinya “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka (saling) menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar…”; (c) saling memaafkan apabila ada anggota keluarga yang khilaf; dan jangan membangun hati-pikiran yang keras, arogan dalam keluarga (Q.S. 3/ Ali Imran: 134 dan 159; Q.S. 4/ An Nisak: 36; Q.S. 42/ Asy Syuara: 23); dan (d) jangan ada dalam kehidupan keluarga suami/ istri/ anak saling menguasai dengan cara-cara yang batil (pemaksaan kehendak), renungkan firman Allah S.W.T dalam Q.S. 4/ An Nisa’: 19, yang artinya “Hai orang-orang beriman, tiada halal bagimu mempusakai/ memiliki perempuan dengan cara paksaan dan jangan (haram) engkau buat istrimu susah/ menderita…Dan bergaullah dengan mereka secara patut (berakhlak)”.
Setiap pribadi muslim harus selalu menyadarkan dirinya, bahwa: (a) dirinya adalah mahkluk yang lemah, tidak mampu memenuhi segala keinginannya; (b) dirinya adalah tidak lepas dari kekhilafan dan perbuatan dosa; (c) kesempatan hidup yang terbatas usia, dan kematian adalah awal pertanggungjawaban semua perilaku; dan (d) hidup ini adalah berjuang untuk berubah yang lebih baik dan semata-mata untuk mengharap ridha Allah S.W.T . Apabila keempat hal tersebut menyatu/ lekat/ kokoh dihati setiap hamba, insya Allah dia akan menjadi hamba yang suka menolong anggota keluarga dan orang lain, suka memaafkan kekhilafan orang lain; dan tidak berhati arogan, otoriter, sewenang-wenang.
Keenam, masing-masing anggota keluarga atau kerabat, mempunyai semangat yang sama dalam mengajak untuk dekat kepada Allah S.W.T (berdakwah) atau berlomba untuk berbuat baik, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing, dengan cara: (a) hikmah (penuh cara/ metode) yang bijak; (b) menggunakan ilmu pengetahuan atau berpikir jernih tidak emosional (maw’idhatul hasanah); dan (c) selalu mengedepankan dialog, komunikasi dua arah antara masing-masing pihak, dan tidak saling mengklaim paling benar (al mujadalah al hasanah) (Q.S.16/ Al Nahl: 90 dan 125). Mengajak orang lain untuk berbuat baik, “belum tentu bernilai baik dan berhasil dengan baik”, apabila metode atau caranya tidak benar, yaitu: Tidak bil hikmah; Tidak al maw’dhatul hasanah; dan Tidak al mujadalah al hasanah. Menyampaikan kebenaran ayat-ayat Allah S.W.T, baik untuk lingkungan keluarga atau masyarakat luas, apabila menggunakan pendekatan kekerasan, pemaksaan dan ancaman, hanyalah akan membawa kehancuran hidup keluarga dan masyarakat. Hakikatnya manusia diciptakan untuk: (a) beribadah pada Allah S.W.T (Q.S.51/ Az Zariyaat:56); (b) memakmurkan bumi/ bukan membuat bencana di bumi (Q.S. 11/ Hud: 61); (c) sebagai khalifah/ pemimpin di bumi (Q.S. 24/ An Nur: 55); (d) berakhlak mulia (Q.S.4/ An Nissak: 36), dan masih banyak kecenderungan positif lainnya.
Apabila keenam aspek tersebut telah menyatu padu dengan kokoh dalam lubuk hati-pikiran setiap anggota keluarga (ayah-ibu-anak), insya Allah, suatu keluarga dan kerabat itu akan terbangun kehidupan keluarga yang bahagia, dan apabila ada kendala ujian hidup keluarga insya Allah akan segera bisa teratasi atas ijin dan bimbingan Allah S.W.T. Oleh karena itu kita semua tidak boleh merasa lelah, patah semangat dan berhenti dalam proses hidup ini untuk terus mewarnai proses kehidupan rumah tangga kita masing-masing dengan keenam hal tersebut di atas. Insya Allah, Allah Yang Maha Kasih dan Maha Segalanya akan menolong kita.
*) Penulis adalah guru SMA dan dosen FIS di Universitas Brawijaya, serta peminat studi Sosiologi Agama
Read Full Post »