Feeds:
Posts
Comments

Archive for September, 2009

Oleh: Dr. Arifin,M.Si.

( Guru Sosiologi SMA Islam Malang, Dosen FISIP Unibraw Malang,

Alumni S3 Sosped Unibraw Malang )

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalis terbesar di dunia, realitas tersebut didukung oleh data sebagai berikut: (a) merupakan negara yang mempunyai ±13.000 pulau; (b) jumlah penduduknya lebih dari 200 juta; (c) mempunyai ± 656 suku bangsa; (d) memiliki lebih dari 360 dialek bahasa lokal; dan (e) beragam Agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Soebadio, H., 1983; Yaqin, A.M. 2005). Kondisi kehidupan masyarakat yang multikultural tersebut secara makro dapat menjadi faktor pendorong atau penghambat proses pembangunan nasional dalam berbagai bidang (Koentjaraningrat, 1982; Ihromi, T.O., 1984). dan secara mikro, khususnya dalam proses pembelajaran di kelas akan dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan pembelajaran setiap mata pelajaran. Oleh karena itu setiap proses pembelajaran budaya (sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi) di setiap lembaga pendidikan seharusnya menerapkan konsep pendidikan multikultural dalam PBM di kelas, agar nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa yang ada dalam Pancasila dan UUD 1945 terbumikan dalam proses kehidupan sehari-hari menuju masyarakat yang integratif. Ada dua permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam karya tulis ini, yaitu: Apakah makna pendidikan multikultural?; dan Mengapa pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar di kelas?.

(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si.
(Guru Sosiologi SMA Islam Malang,
dan Dosen FISIP Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi membawa pengaruh perubahan yang luar biasa terhadap pola kehidupan ummat manusia di belahan bumi ini. Terjadi transformasi budaya pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga perubahan demi perubahan terus terjadi baik pada ranah kompleks ide, kompleks kelakuan berpola, dan kompleks sistem teknologi (Koentjaraningrat, 1982; Sztompka. 2004). Disamping itu era globalisasi yang ditandai dengan transformasi informasi-tehnologi (IT) mengkondisi proses-proses kehidupan di berbagai bidang berada pada arus high competition yang begitu cepat dan mendasar dengan membawa beragam resiko kehidupan (Giddens, A.. 2001). Perubahan fenomena kehidupan terkini tersebut, ditangkap oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan perubahan pada orientasi pembangunan nasional, yaitu dari lebih menekankan pada orientasi economic recource development, bergeser untuk mulai memperhatikan ke human resource development. Khususnya dibidang pendidikan pemerintah telah menyusun Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Dalam rangka meningkatkan kualitas guru dan dosen, disusun pula Undang Undang No. 14 tahun 2005 tenang Guru dan Dosen, selanjutnya dikeluarkan Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, dan beberapa produk hukum lainnya. yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mereformasi pembangunan bidang pendidikan. Semua produk hukum yang berkaitan dengan pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan realitas teoritik (das sollen ) tentang komitmen pemerintah untuk memajukan sistem pendidikan nasional.
Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas sehari-hari di lapangan (das sain), khususnya tentang kemampuan profesional guru masih belum terberdayakan secara maksimal, sehingga dari aspek pendidik banyak kendala yang muncul di lapangan dalam mengimplementasikan beragam peraturan tersebut (Depdiknas, 2006). Dalam dua tahun terakhir (sejak 2006) pemerintah telah memulai melakukan program sertifikasi guru, dan salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas profesional guru. Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa proses pembangunan pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan yaitu, adanya kesenjangan antara realitas teoritik (das sollen ) dengan realitas emipirik (das sain) dalam proses kualitas layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan analisis kajian deskriptif kualitatif, dengan fokus kajian tentang: Apa yang menjadi orientasi teoritik tentang agent of change?; (b) Bagaimana fungsi atau peran guru sebagai agent of change pembelajaran di kelas?; dan (c) Bagaimana langkah strategis dalam meningkatkan peran guru sebagai agent of change pembelajaran?.
(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.
( Guru Sosiologi di SMA Islam Malang, Dosen FISIP
di Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan
Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, bahwa tahun akademik 2006-2007 telah dimulai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun akademik 2007-2008 ini diharapkan lebih mantap pelaksanannya. Keberadaan KTSP tersebut apabila dicermati dan direnungkan dari dimensi paradigma pembelajaran, maka sejatinya visi dan misi yang diusung dalam KTSP adalah, mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process. Begitulah tuntutan das sollen (realitas teoritik) yang harus dipahami, direnungkan dan diaplikasikan oleh setiap insan yang memilih profesi guru di bumi pertiwi ini. Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas emprik (das sain) tentang potret kualitas guru di negeri tercinta ini masih sangat “memprihatinkan” (kalau tidak boleh dikatakan “sangat rendah”). Kesenjangan antara das sollen dan das sain tersebut yang “dibiarkan” mengalir mewarnai perjalanan sejarah layanan pendidikan di negeri ini, akan menjadi basic problem munculnya beragam persoalan mikro-makro bangsa yang begitu kompleks. Hal ini wajar sebab hakikat pembangunan adalah dari, oleh dan untuk manusia, yang berarti orientasi pembangunan pada people centered development paradigm menjadi kunci penyelesaian beragam poblem masyarakat.
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu sebuah rangkaian sistemik dalam mewujudkan bangunan yang kokoh bernama “Keberhasilan KTSP”. Dalam posisi kajian ini fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.
(more…)

Read Full Post »