Oleh: Dr. Arifin, M.Si.
( Guru Sosiologi di SMA Islam Malang, Dosen FIS di Universitas Brawijaya Malang)
Pendahuluan
Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, bahwa tahun akademik 2006-2007 telah dimulai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun akademik 2007-2008 ini diharapkan lebih mantap pelaksanannya. Keberadaan KTSP tersebut apabila dicermati dan direnungkan dari dimensi paradigma pembelajaran, maka sejatinya visi dan misi yang diusung dalam KTSP adalah, mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process. Begitulah tuntutan das sollen (realitas teoritik) yang harus dipahami, direnungkan dan diaplikasikan oleh setiap insan yang memilih profesi guru di bumi pertiwi ini. Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas emprik (das sain) tentang potret kualitas guru di negeri tercinta ini masih sangat “memprihatinkan” (kalau tidak boleh dikatakan “sangat rendah”). Kesenjangan antara das sollen dan das sain tersebut yang “dibiarkan” mengalir mewarnai perjalanan sejarah layanan pendidikan di negeri ini, akan menjadi basic problem munculnya beragam persoalan mikro-makro bangsa yang begitu kompleks. Hal ini wajar sebab hakikat pembangunan adalah dari, oleh dan untuk manusia, yang berarti orientasi pembangunan pada people centered development paradigm menjadi kunci penyelesaian beragam poblem masyarakat.
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu sebuah rangkaian sistemik dalam mewujudkan bangunan yang kokoh bernama “Keberhasilan KTSP”. Dalam posisi kajian ini fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.
Landasan yuridis dan teoritik pembelajaran dalam KTSP
Keberadaan KTSP dapat dikatakan sebagai salah satu indikator upaya pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) dalam proses pembangunan pendidikan yang memperhatikan aspek human resource development. Perubahan orientasi pembangunan Nasional dari economic recource development ke human resource development, khususnya dibidang pndidikan nampak dalam rumusan Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISPENAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang didalamnya memuat tentang: standar Isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (BSNP, 2006). Dari UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tersebut, kemudian disusun Permendiknas No. 24 tahun 2006, yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun pelajaran 2006-2007 dimuli disemua jenjang pendidikan dari SD sampai SMA/SMK.
Paradigma pembelajaran yang diusung dalam KTSP sejatinya adalah pembelajaran yang berorientasi pada perpaduan teori atau prinsip pembelajaran konstruktivisme dan penerapan prinsip resource-based learning. Prinsip pendekatan konstruktivis, model pembelajaran di kelas harus didesain dengan pola: (a) siswa diharapkan tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi didorong untuk mampu menyerap beragam ilmu pengetahuan yang ada di sekelilingnya, untuk kemudian mampu membangun dan mengembangkan sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan; (b) proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa secara mandiri untuk mentransformasi pengetahuan dan ketrampilan baru sesuai dengan kemampuan dirinya (Brook, 1999); (c) proses pembelajaran di kelas harus menggunakan beberapa strategi dan inovasi pembelajaran tentang bagaimana caranya agar siswa yang mempunyai keberagaman intelektual, sosial-kultural tersebut mampu membangun pengetahuan baru dengan bantuan pengalaman, pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya; (d) proses pembelajaran di kelas harus di desain dengan pola pembelajaran yang merangsang anak untuk senang kepada tantangan baru, gemar melakukan analisis dan penemuan baru, siswa harus dipandang sebagai ilmuwan kecil dengan segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing; dan (e) proses pembelajaran berdasarkan KTSP hakikatnya adalah, adanya pengakuan akan eksistensi siswa di kelas sebagai insan yang serba beragam dalam segala kemajemukan: pengetahuan, ketrampilan, emosi, keyakinan, cita-cita, yang akan dikomandani oleh guru yang bertindak sebagai teladan, pembimbing dan motivator bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dirinya. Untuk bisa menerapkan prinsip pembelajaran tersebut setiap guru harus mampu menerapkan prinsip resource-based learning (memberdayakan semua sumber-sumber belajar) dalam proses pembelajaran. Disinilah letak urgensi kualitas guru dalam mensukseskan proses pembelajaran berdasarkan KTSP.
Problema kualitas guru dan alternatif pemecahannya
Ada tujuh prinsip dalam pelaksanaan KTSP di setiap satuan pendidikan, yaitu: (a) didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi siswa untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya; (b) menegakkan kelima pilar belajar, yaitu belajar untuk: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Y.M.E; memahami dan menghayati; mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan membangun, menentukan jati diri; (c) memungkinkan siswa mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke Tuhanan, keindividuan, kesusilaan dan moral; (d) tercipta suasana hubungan siswa dan pendidik yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo; (e) menggunakan pendekatan multi-strategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; (f) mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal; dan (g) mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan (BSNP, 2006). Untuk merealisasikan tujuh prinsip tersebut sangat dibutuhkan SDM guru yang berkualitas.
Ada beberapa kendala (problem) tentang kualitas guru dalam mensukseskan pelaksanaan KTSP, diantaranya adalah: Pertama, secara makro ditinjau dari jenjang pendidikan formal atau kelayakan akademik guru di Indonesia masih dalam kategori rendah. Berdasarkan data Depdiknas, sekitar 2, 6 juta guru di Indonesia masih terdapat 912.505 guru yang tidak layak mengajar di kelas dan 15 % diantaranya mengajar tidak sesuai dengan keahliannya (Depdiknas, 2006). Diantara alternatif pemecahannya adalah pemerintah harus sungguh-sungguh dalam memberikan beragam kemudahan bagi guru untuk mengakses peningkatan kelayakan akademiknya (melalui pemberian beasiswa melanjutkan studi, diklat, penataran, workshop dan sejenisnya). Disamping itu setiap guru yang hendak meningkatkan kualitas formal akademiknya harus betul-betul disesuaikan dengan bidang keahlian mengajar di kelas, tidak hanya sekedar meraih gelar sarjana; Kedua, masih banyak guru yang terpaku pada mindset pembelajaran teacher centered (Adi, 2007) dengan one texbook information. Apabila fenomena ini tetap bertahan mewarnai poses pembelajaran di kelas tentu sangat mengerikan bagi kelangsungan pembelajaran berdasarkan KTSP. Alternatif pemecahan problem kedua ini tentu sangat bersifat internal, artinya hati dan pikiran guru itu sendiri harus sungguh-sungguh mau berubah untuk terus belajar meningkatkan kuaitas keahliannya atau profesinya. Setiap guru harus terus menyalakan sikap mental need for achievement (berprestasi sebagai kebutuhan dasar) sepanjang meniti karir profesi guru. Tanpa ada kemauan internal guru untuk berubah secara kokoh, apapun usaha pemerintah dan lembaga satuan pendidikan dalam memajukan layanan pendidikan akan tetap sia-sia.
Ketiga, masih banyak guru yang tidak memahami beragam inovasi pembelajaran dan bagaimana penerapannya di kelas. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan semangat inovasi pembelajaran yang tersirat dalam KTSP. Diantara alternatif pemecahan masalah ini adalah, setiap satuan pendidikan harus dibentuk team ahli inovasi pembelajaran yang secara optimal bersama-sama memberdayakan potensi setiap guru untuk meningkatkan penguasaan metode pembelajaran dengan meminimalisir prinsip what should be learned (apa yang harus dipelajari) untuk mengedepankan prinsip how to think (bagaimana berpikir) (Winarno, 1998). Oleh karena itu dalam konteks metode pembelajaran, setiap guru harus menegakkan empat pilar, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar, 2000). Jadi, dalam konteks ini setiap guru harus cerdas membaca perkembangan jaman atau tanggap terhadap perkembangan Iptek, harus punya ambisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan atau keahlian akademiknya (bukan ambisi cari jabatan struktural), selalu berinovasi dalam pembelajaran melalui kegiatan classrom action research (PTK) atau kegiatan kajian pengembangan keilmuan.
Keempat, lembaga satuan pendidikan sebagai wadah aktualisasi guru dalam meniti karir profesi, pada tataran aplikatif sehari-hari masih ada kecenderungan hubungan disharmonis antar guru karena beragam kepentingan dan sudut pandang. Apabila hal ini tidak segera terselesaikan, sedikit banyak akan mengganggu keharmonisan dalam layanan pendidikan sesuai dengan KTSP. Dalam konteks organisasi satuan pendidikan, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui proses: (a) system thinking; (b) mental models; (c) personal mastery; (d) team learning; (e) shared vision; dan (f) dialog (Peter dalam Soetrirno, 2002). Diantara alternatif pemecahan problem keempat ini adalah, membentuk atau membangun kemauan sikap mental setiap guru untuk belajar dan bekerjasama sesama guru dengan hati yang tulus-ikhlas, membangun kualitas kepribadian. Oleh karena itu kedudukan dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus: berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis dalam satuan pendidikan; berfikir integral dalam mencermati fenomena pendidikan; mampu membangkitkan learning organization; mendorong dan memberi peluang pada setiap guru/ anak buah untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan aset satuan pendidikan; dan mampu membangun atau mewujudkan regenerasi yang visioner.
Kelima, kondisi tingkat kesejahteraan finansial guru yang masih “relatif” rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru termasuk salah satu faktor penyebab “rendahnya” kualitas layanan guru dalam poses pembelajaran di kelas (Tilaar, 2002). Masih banyak dijumpai pendapatan guru dalam satu bulan di bawah dua ratus ribu rupiah dengan segudang tangggungjawab, jauh dibawah UMR, terutama para GTT baik dari jenjang SD sampai SMA. Diantara solusi dalam mengatasi permasalahan ini antara lain: (a) Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dalam APBN/APBD; (b) Komite Sekolah bersama Kepala Sekolah dan dewan guru harus berusaha meningkatkan Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam mendukung proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, untuk dikelola secara transparan dan tanggungjawab; dan (c) Pemerintah atau lembaga pendidikan harus menerapkan sistem pemberian “reward” (hadiah), insentif yang sangat memadai bagi guru yang berdedikasi, berprestasi baik secara akademik, kepribadian atau profesi. Peluang untuk mendapatkan reward atau insentif tersebut harus terbuka dan terus disosialisasikan ke setiap guru. Ada kecenderungan pola budaya yang berkembang di masyarakat tentang nilai penghargaan (reward) pada insan yang berprestasi dibidang akademik (Iptek), jauh lebih rendah penghargaan finansialnya apabila dibandingkan dengan prestasi dibidang non akademik. Fenomena ini tentu menjadi salah satu faktor penghambat rendahnya minat anak bangsa dalam meminati dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kesimpulan
Uraian di atas memberikan sebuah wacana atau renungan, bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan pelaksanaan KTSP adalah tersedianya kualitas sumber daya guru, baik secara akademik, kepribadian dan profesinya. Ketiadaan kualitas SDM Guru di setiap satuan pendidikan, akan berdampak pada kegagalan pelaksanaan KTSP. Upaya mengatasi problem “rendahnya” kualitas guru harus secara seimbang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah pandangan, motivasi dan tujuan guru itu sendiri, bersedia atau tidak untuk terus berada di garis perubahan dan inovasi pembelajaran. Sedangkan pihak eksternal adalah pihak pemerintah dengan segenap strategi kebijakannya, kepala sekolah dan iklim atau kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Sudah barang tentu setiap insan pendidik di negeri tercinta ini mendambakan potret layanan pendidikan anak bangsa ke depan tetap berada dalam bingkai penuh kesuksesan dan kemajuan. Insya Allah!
DAFTAR PUSTAKA
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Koentjaraningra, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISPENAS).
Nasution, 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Adi, T. 2007. “Selamat Datang KTSP”, Jurnal Media. N0. 3/ Th. XXXVII/ Mei 2007. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.
Read Full Post »