Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2009

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si. *)

Sebagai hamba Allah S.W.T yang dianugerahi kemampuan berpikir dan merasa secara maksimal, maka semestinya setiap langkah perbuatan kita dalam hidup ini harus melalui hasil proses berpikir dan merasa secara jernih. Diantara bagian dari aktivitas prodak berpikir (intelegensi) dan prodak rasa-karsa (Kalbu / Hati nurani) adalah, merenungkan, mengkaji, meneliti, memahami: Apa hakikat tujuan hidup manusia di dunia ini?, Bagaimana metoda atau cara menjalani hidup ini agar meraih kebahagiaan?, dsb. Dengan maksud untuk memberi kontribusi pemikiran dalam menjawab salah satu persoalan tersebut di atas, maka penulis ingin menyampaikan wacana pada pembaca, tentang metoda dalam memeluk Agama Islam. Dalam banyak kajian agama dijelaskan, paling tidak ada enam macam yang harus dilakukan oleh setiap pribadi muslim dalam proses memeluk agama Islam menuju kebahagiaan dan keselamatan hidupnya di dunia dan akhirat, yaitu:
Pertama, Setiap pribadi Muslim harus betul-betul memahami agama Islam, dan mengapa manusia harus beragama dalam hidupnya. Kenapa manusia harus memahami agama Islam?. Ada beberapa dasar pemikiran yang dapat dijadikan alasan, yaitu: (1) Memahami agama Islam (Al Qur’an) merupakan perintah Allah S.W.T (Q.S. Shaad/ 38 : 29); (2) Agama diturunkan Allah berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia dalam segala aspeknya. (Q.S. Al Qashaas/ 28 : 77, dan Q.S. Al Baqarah/ 2: 208); (3) Agama (Al Qur’an) menyajikan beragam i’tibar kehidupan manusia dimasa lalu (gagal-berhasil) yang itu sangat diperlukan ummat manusia berikutnya. Kemudian mengapa manusia harus beragama dalam hidup ini?. Ada beberapa argumentasi, mengapa manusia harus beragama, yaitu: (1) Kehadiran manusia dalam hidup ini membawa keterbatasan kemampuan dalam beragam aspek (Q.S. An Nisa’/ 4: 28, dan Q.S. Al Isra’/ 17: 25); (2) Agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohani manusia (Q.S. Yunus/ 10: 57 dan Q.S. Thoha/ 16: 124). Dalam hidup ini ada dua kebutuhan, yaitu jasmani dan rohani, keduanya harus imbang untuk dipenuhi; (3) Pertimbangan ingin meraih kebahagiaan hidup sejati (Q.S. Al Maidah/ 5: 15-16, dan Q.S. Al Ahzab/ 33: 71); (4) Pertimbangan memperoleh kebenaran sejati dalam hidup (Q.S. Al Baqarah/ 2: 147). Kemudian cara memahami agama Islam, diantaranya adalah: (1) Berusahalah untuk memahami bahasanya; (2) Berusaha untuk memahami semua isi ajarannya; (2) Berusaha memahami isi ajarannya secara teoritis dan praktis; dan (3) Berusaha memahami dengan ikhlas, tujuannya benar, merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah shakhihah.

(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.*)

Pendahuluan
Paradigma pembangunan pendidikan dewasa ini telah bergeser dari pola teacher centered ke student centered learning, dari orientasi filosofis yang lebih menekankan dimensi obyektivis-positivis ke subyektivis-interpretif. Indikator yang memperkuat asumsi tersebut adalah: Pertama, digulirkannya kebijakan pemerintah tentang penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, yang sejatinya keberadaan KTSP tersebut telah memberi peluang cukup signifikan terjadinya kreatifitas lokal (local genius) dalam pengembangan pembelajaran di sekolah, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi keilmuan yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan); Kedua, sistem evaluasi pembelajaran yang harus dikembangkan guru adalah penilaian internal (internal assessment) yang terjelma dalam model penilaian kelas yang dilakukan melalui beragam cara, yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya siswa (potofolio) dan penilaian diri (self assessment)
Apabila mencermati arah perkembangan pendidikan di era transformasi Iptek dan globalisasi kehidupan dewasa ini, nampak bahwa proses pembelajaran di kelas harus mampu mengarah pada upaya membangun iklim belajar kompetitor, pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM), pembelajaran yang mampu mendorong siswa menginternalisasi dan mentransformasi pengetahuan yang baru. Pola strategi pembelajaran tersebut oleh para ahli sering disebut dengan pola pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis (Brooks & Brooks, 1999). Jadi, penguasaan pendekatan konstruktivis oleh setiap guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah suatu keharusan (keniscayaan) dalam rangka mengantarkan peserta didik mampu mengembangkan potensi diri secara maksimal. Persoalan yang muncul adalah: Apakah setiap guru dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas telah mempunyai background knowlidge tentang beragam inovasi pembelajaran termasuk pendekatan konstruktivis?, dan bagaimana Strategi penerapan pendekatan konstruktivisme dalam proses belajar mengajar di kelas?. Dua permasalah inilah yang menjadi fokus analisis kajian ini, dengan harapan mampu memberi alternatif wacana bagi guru tentang penerapan pendekatan konstruktivis dalam proses pembelajaran di kelas.

(more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si. *)

Pendahuluan
Pola pelayanan pendidikan kedepan disetiap satuan pendidikan diantaranya adalah harus mampu menghasilkan: (a) Kualitas pola manajemen berbasis sekolah; (b) Kualitas proses pembelajaran di kelas; dan (c) Kualitas out put yang mampu menselaraskan dengan beragam tuntutan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu bersaing baik dalam ranah kompetisi lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu setiap layanan pendidikan pada satuan pendidikan harus betul-betul berorientasi pada standar mutu yang telah ditetapkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu: (a) standar Isi; (b) standar proses; (c) standar kompetensi lulusan; (d) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (e) standar sarana dan prasarana; (f) standar pengelolaan; (g) standar pembiayaan; dan (h) standar penilaian pendidikan (BSNP, 2006). Sebagian dari standar mutu yang ditetapkan oleh PP No. 19 tahun 2005 tersebut yang langsung bersentuhan dengan peran dan fungsi guru di sekolah adalah kualitas: standar isi, stándar kelulusan, standar proses, ,standar kualitas pendidik, dan stándar penilaian. Dalam rangka mengimplementasikan kualitas standar isi, kelulusan, proses dan penilaian, maka setiap guru dalam satuan pendidikan harus dilibatkan secara aktif dan proporsional dalam ’proses school self evaluation’ (SSE) atau proses evaluasi diri sekolah, karena keberadaan guru sangat sentral dalam menjamin kelangsungan kualitas layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan (Hamalik, O., 2002; Soetjipto dan Kosasi R. 1999). Disamping itu guru merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pembelajaran di sekolah, harus selalu melakukan proses evaluasi diri dalam kaitannya dengan pengembangan karir dan evaluasi diri dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar (PBM), serta evaluasi diri dalam kaitannya dengan pengembangan institusi pendidikan .
Permasalahannya adalah: Pertama, Mengapa proses school self evaluation (SSE) pada era sekarang dan yang akan datang merupakan suatu keharusan objektif (conditio sin cuanon) dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan?, dan Kedua, Bagaimana langkah-langkah strategis untuk meningkatkan peran guru dalam proses school self evaluation (SSE) menuju keunggulan layanan pendidikan?. Dua permasalahan inilah yang menjadi fokus kajian ini dengan harapan dari beberapa alternatif wacana yang tersajikan mampu menyentuh ranah fungsional guru dalam proses layanan pendidikan disetiap satuan pendidikan (Hamalik. 2002; Nasution, 2006). (more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si. *)

I. PENDAHULUAN
Pada era sekarang dan yang akan datang, paradigma layanan pendidikan harus berubah dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process (Arifin, 2007). Jadi, seluruh proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diorientasikan pada pemberdayaan siswa sesuai dengan keberagam potensinya masing-masing. Salah satu bagian kunci dalam proses layanan pendidikan anak atau proses pembelajaran siswa di sekolah adalah ‘membentuk karakter atau sikap mental positif’ siswa, karena terbentuknya sikap mental positif akan mampu mengantarkan setiap individu untuk meraih kesuksesan (Koentjaraningrat, 1982).
Ada beberapa rujukan teoritis tentang urgensinya pendidikan sikap mental manusia dalam proses pembangunan, yaitu: (a) teori n-Ach (the need for Achievement), oleh David Mc Clelland. Inti pandangan teori ini adalah ‘setiap individu yang selalu membangun prinsip sepanjang usia hidupnya harus terus berkarya dan berprestasi akan meraih banyak kesuksesan’. Berkarya adalah kebutuhan dasar dalam hidup; (b) Teori Mentalitas Manusia Modern, oleh Alex Inkels dan D.H. Smith. Salah satu ciri mentalitas modern adalah ‘terbuka, berorientasi ke depan dan kompetitif serta inovatif (Budiman, 1995); dan (c) teori Kepribadian Inovatif, oleh Max Weber dan E. Hagen. Salah satu ciri kepribadian inovatif adalah ‘selalu ingin tahu dan meneliti, mengambil tanggung jawab pribadi yang tinggi, terbuka dan tolerir, memaklumi heterogenitas dan selalu mendorong kreativitas dan inovasi di berbagai bidang’ (Sztompka,1993). Berdasarkan ketiga teori tersebut, menunjukkan aspek mentalitas manusia adalah faktor kunci dalam meraih kesuksesan hidup.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/ U/ 1984, tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kesiswaan dijelaskan bahwa, dua dari delapan materi pembinaan kesiswaan adalah: (a) pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur; dan (b) pembinaan ketrampilan dan kewirausahaan siswa. Salah satu cara dalam membina siswa pada aspek ketrampilan dan kewirausahaan adalah setiap satuan pendidikan harus ada Koperasi Siswa (Kopsis). Persoalan yang muncul adalah, bagaimana cara yang dapat ditempuh dalam menumbuhkan sikap mental wirausaha siswa di sekolah melalui lembaga Kopsis sekolah?. Persoalan inilah yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini. Sebenarnya banyak aspek yang bisa dikaji dalam membahas tentang peran Kopsis bagi siswa, namun karena keterbatasan ruang dan waktu, maka fokus kajian hanya pada aspek peran Kopsis dalam pendidikan sikap mental kewirausahaan siswa. (more…)

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si. *)

A. Landasan Konsepsional Komite Sekolah.

Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah (Kepmendiknas, Nomor 004/U/ 2002).
Pembentukan Komite Sekolah, yang telah ditetapkan dalam Keputusan Mendiknas No. 004/ U/2002, merupakan amanat dari UU Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dengan tujuan agar pembentukan Komite Sekolah dapat mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/ masyarakat ( school / community based management) (Depdiknas, 2003). Pembentukan Komite Sekolah menjadi lebih kuat dari aspek legalitasnya, karena telah diwadahi dalam pasal 56 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dari ayat 1 sampai 4. Dalam UU Nomor 20 tahun 2003, pasal 56 ayat 3 disebutkan, bahwa ”Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”.
Agar Komite Sekolah mampu melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol (controlling); dan (d) mediator, maka segala potensi yang ada pada kepengurusan Komite Sekolah harus terus diberdayakan secara maksimal. Ada tiga bagian penting yang bisa diupayakan dalam pemberdayaan Komite Sekolah, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan Komite Sekolah; (2) Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah; dan (3) Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah (Depdiknas, 2006).

B. Penguatan Kelembagaan Komite Sekolah.

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya penguatan kelembagaan Komite Sekolah, yaitu: (1) Prinsip-prinsip yang menjadi fondasi pembentukan Komite Selah; (2) Melaksanakan peran dan fungsi Komite Sekolah untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan; dan (3) Membangun hubungan kemitraan dan kerjasama secara sinergis antara Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Pertama, ada tujuh langkah baku pembentukan Komite Sekolah, yaitu: (1) Melakukan (forum) sosialisasi pembentukan komite sekolah; (2) penyusunan kriteria dan identifikasi bakal calon anggota (berdasarkan usulan masyarakat); (3) seleksi anggota berdasarkan kriteria; (4) pengumuman nama-nama bakal calon anggota guna menampung bila ada keberatan terhadap satu atau lebih bakal calon; (5) pengumuman nama-nama calon yang sudah disepakati masyarakat; (6) pemilihan komite sekaolah berdasarkan musyawarah mufakat atau pemungutan suara; dan (7) penyampaian nama-nama komite sekolah terpilih.
Kedua, peran dan fungsi Komite Sekolah adalah: Komite Sekolah berperan sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol (controlling); dan (d) mediator. Sedangkan fungsi komite sekolah adalah: (a). Mendorong berkembangnya komitmen masyarakat thd kualitas pendidikan; (b) Melakukan kerjasama dg masyarakat dan pemerintah ttg kualitas pendidikan; (c) Menampung, menganalisis ide, aspirasi berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat; (d) Memberi masukan, pertimbangan, rekomendasi pada sekolah ttg: Kebijakan program pendidikan; RAPBS; Kriteria tenaga kependidikan, fasilitas sekolah; dan kinerja satuan pendidikan; (e) Mendorong ortu dan masyarakat berpartisipasi dalam peningkatan kual pend; (f) Menggalang dana masyarakat untuk kualitas layanan pendidikan; dan (g) Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program kualitas layanan pendidikan.
Ketiga, membangun hubungan kemitraan dan kerjasama secara sinergis antara Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Unsur-unsur yang membentuk komunitas sekolah adalah terdiri dari individu dan kelompok, kelompok dalam satuan
pendidikan, orang tua dan keluarga serta masyarakat di sekitar satuan pendidikan tersebut. Unsur-unsur tersebut harus terbangun jalinan hubungan kemitraan secara sistemik, sebagaimana yang tergambar pada gambar berikut ini:

Prinsip kemitraan adalah (a) Saling membutuhkan; (b) Saling mempercayai; (c) Saling ”menguntungkan” (memberi manfaat); dan (d) Dilandasi kemitraan dan semangat untuk kepentingan bersama.

C. Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah.
Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya Peningkatan kemampuan organisasional Komite Sekolah, yaitu: (1) Memutar roda organisasi dan manajemen Komite Sekolah; (2) Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dan (3) Menjalin hubungan dan kerjasama Komite Sekolah dengan Institusi yang terkait.
Pertama, memutar roda organisasi dan manajemen Komite Sekolah. Agar program organisasi dan manajemen Komite Sekolah bisa berjalan dengan baik, maka fungsionaris organisasi itu harus membangun kinerja dalam suatu Teamwork. Sifat teamwork adalah anggota tim secara aktif bekerja bersama sedemikian rupa sehingga keahlian masing-masing dimanfaatkan untuk mencapai tujuan bersama. Ciri-ciri anggota tim yang baik, adalah: (a) memberi semangat pada anggota tim yang lain untuk berkembang; (b) respek dan toleran terhadap pendapat berbeda dari orang lain; (c) mengakui dan bekerja melalui konflik secara terbuka; (d) mempertimbangkan dan menggunakan ide dan saran dari orang lain; (e) membuka diri terhadap masukan (feedback) atas perilaku dirinya; (f) mengerti dan bertekad memenuhi tujuan dari tim; (g) tidak memposisikan diri dalam posisi menang atau kalah terhadap anggota tim yang lain dalam melakukan kegiatan; dan (h) memiliki kemampuan untuk mengerti apa yang terjadi dalam tim. Agar roda organisasi sebagai suatu teamwork bisa berjalan dengan baik, maka keahlian-keahlian yang perlu dimiliki tim dan harus dikembangkan adalah: (a) keahlian teknis; (b) keahlian konseptual; (c) keahlian interpersonal; dan (d) keahlian administrasi. Diantara manfaat bekerja dalam sebuah tim yang baik adalah: (a) dapat menciptakan model pemecahan masalah yang lebih tepat; (b) menghemat waktu untuk pekerjaan yang tidak ada manfaatnya; (c) penghematan biaya; (d) dapat menghitung faktor-faktor resiko yang dapat diperhitungkan secara finansial; dan (e) memperluas promosi dan dalam kasus bisnis dapat memperluas pangsa pasar.
Kedua, penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Komite Sekolah harus berperan aktif dalam proses penyusunan RPS. Komponen utama RPS adalah: (a) visi dan misi; (b) tujuan; (c) kegiatan; (d) sasaran; (e) anggaran; (f) penjabaran; dan (g) pengorganisasian. Sedangkan konsep rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) adalah meliputi: (a) latar belakang; (b) gambaran pendidikan dan non pendidikan tahun sebelumnya; (c) permasalahan kedepan yang dihadapi sekolah; (d) visi dan misi sekolah; (e) tujuan/ perubahan yang diinginkan; (f) indikator keberhasilan; (g) rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah tahun
pelajaran; (h) lampiran-lampiran ( arus murid selama 3 tahun terakhir; aset sekolah; rencana 5 tahun ke depan; sasaran dan anggaran dan sumber sumber pembiayaan pendidikan). Kemudian data yang diperlukan dalam membuat RAPBS adalah: profil sekolah; data murid per kelas tiga tahun terakhir; asal murid; latar belakang sosial ekonomi orang tua; data yang menggambarkan kondisi lingkungan sekolah; peta lokasi sekolah; info tentang kepadatan penduduk dan mata pencahariannya; data guru dan tenaga administrasi sekolah.
Proses penyusunan RPS/RAPBS adalah: (a) kepala sekolah dan komite sekolah membentuk tim penyusunan (TP) RPS dan RAPBS; (b) dalam waktu paling lambat 3 harii kerja TP mengadakan rapat persiapan dan menyusun rencana kerja; (c) TP menyusun draf awal RPS/ RAPBS; (d) TP mempresentasikan dalam rapat dewan guru dan anggota komite sekolah untuk mendapat masukan; (e) TP melakukan review draf awal; (f) TP menyusun draf final setelah menerima masukan dari dewan guru dan anggota komite sekolah; dan (g) pengesahan RPS/RAPBS.
Ketiga, menjalin hubungan dan kerjasama Komite Sekolah dengan Institusi yang terkait. Hubungan dan kerjasama komite sekolah dengan institusi yang terkait dalam dilakukan dalam koridor channeling program pendidikan. Kerjasama channeling program pendidikan adalah suatu bentuk kegiatan kerjasama yang dilakukan oleh komite sekolah dengan pihak lain (swasta, pemerintah, lembaga peduli pengembangan pendidikan) yang berlandaskan kemitraan dan kepentingan bersama dalam rangka mencapai tujuan peningkatan mutu layanan pendidikan untuk rakyat tidak mampu.
Alasan pentingnya membangun kerjasama dengan institusi terkait adalah: (a) persoalan yang dihadapi oleh semua pihak makin kompleks; (b) keterbatasan sumber daya di semua pihak yang terkait; dan (c) perlu sinergi potensi dan sumber daya untuk optimalisasi penanganan persoalan bersama. Sedangkan pola hubungan sinergi potensi adalah: (a) punya tujuan bersama; (b) berorientasi pada hasil bersama; (c) hasil bersama lebih dari penjumlahan hasil masing-masing; (d) proses mengembangkan alternatif ketiga secara bersama; dan (e) kerjasama secara kreatif. Tujuan channeling program pendidikan adalah: (a) terwujudnya tatanan komite sekolah yang mampu mengakses dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian rencana program sekolah; (b) terciptanya sinergi antar pemangku kepentingan (komite sekolah, masyarakat, pemerintah, dan kelompok-kelompok peduli) untuk lebih mengoptimalkan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pendidikan untuk rakyat tidak mampu. Sedangkan sasaran channeling program pendidikan adalah: (a) dihasilkannya kerjasama komiet sekolah dengan berbagai pihak yang memiliki sumber daya potensi; (b) tumbuhnya tatanan komite sekolah yang inklusif sebagai wujud tanggungjawab bersama pelaku pendidikan, masyarakat, pemerintah dan kelompok peduli (LSM, swasta, asosiasi, universitas dll); (c) terwujudnya komite sekolah yang memiliki ”posisi tawar” baik dengan pemerintah maupun swasta; (d) terimplementasikannya penyelesaikan seluruh program komite sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan dan pendidikan untuk rakyat miskin; dan (e) optimalisasi akses pendidikan bagi masyarakat miskin, dan dihasilkannya sinergi dan integrasi peningkatan mutu pendidikan.

D. Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah

Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya Peningkatan wawasan kependidikan pengurus Komite Sekolah, yaitu: (1) wawasan tentang sekolah sebagai suatu sistem; (2) wawasan tentang manajemen berbasis sekolah (MBS); dan (3) wawasan tentang pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
Pertama, wawasan tentang sekolah sebagai suatu sistem. Sekolah sebagai suatu sistem berarti beberapa elemen satu dengan yang lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Beberapa elemen sekolah sebagai sistem adalah: peserta didik, kepala sekolah; pendidik/ guru; Staf tata usaha; Kurikulum; Fasilitas pendidikan. Sekolah sebagai suatu sistem dapat diringkas dalam gambar sebagai berikut:

Kedua, wawasan tentang manajemen berbasis sekolah (MBS). Landasan yuridis formal MBS adalah UU Nomor 20 tahun 2003, pasal 51 ayat 1. MBS adalah bentuk pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan lebih besar kepada sekolah untuk merencanakan, dan menilai program sekolah. Kewenangan tersebut al: (1) Menentukan program sekolah; (2) Merencanakan bagaimana memperoleh dana sekolah dan penggunaannya; (3) Mengatur jadwal belajar; (4) Menentukan jumlah siswa baru yang diterima; dan (5) menentukan jumlah tenaga guru honorer yang diperlukan. Tiga pilar program MBS, yaitu: (1) Manajemen Sekolah (Demokratis, Transparan dan Akuntabilitas); (2) PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); dan (3) PSM (Peran Serta Masyarakat), dalam hal: Merencanakan program; Mengambil keputusan; Meningkatkan mutu pembelajaran; dan Membangun sekolah (sarana pembelajaran Mengapa orang tua dan masyarakat harus ikut membantu dalam meningkatkan layanan pendidikan di sekolah?, paling tidak ada lima hal, yaitu: (a) pendidikan merupakan tanggungjawab bersama (orang tua, masyarakat, sekolah dan pemerintah); (b) pendidikan yang dibutuhkan anak tidak seluruhnya dapat diberikan oleh guru dan sekolah; (c) sarana pembelajaran yang dibutuhkan oleh anak di sekolah belum memadai; (d) sangat diperlukan pengadaan dan peningkatan sarana pendukung pembelajaran; dan (e) sekolah memerlukan bantuan pemikiran atau gagasan dari orang tua dan masyarakat untuk kemajuan sekolah. Ketiga, wawasan tentang pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
______, 2003. Acuan Operasional dan Indikator Kinerja Komite Sekolah. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
______, 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Rosidi, S., 2003. Kebijakan Pendidikan dan Dewan Pendidikan Kota Malang. Dewan Pendidikan Kota Malang.
Sindhunata, (ed), 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Kanisius. Yogyakarta.
Tilaar, 2002. Membedah Pendidikan Nasional. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

*) Penulis adalah Ketua Komite SDN Sawojajar Malang, Guru dan Dosen di Malang. Makalah ini disajikan pada kegiatan Workshop atau Temu Koordinasi dan Penyegaran Informasi Fungsionaris Komite Sekolah Tingkat Regional (Jawa Timur)

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si *)

Dalam perspektif sosiologi, makna keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu: Keluarga inti (nuclear family, ayah-ibu-anak) dan Keluarga luas (extendet family, kerabat istri dan kerabat suami), disamping itu keluarga merupakan kelompok sosial yang paling penting, paling mendasar dan sangat menentukan dalam: (a) Proses sosialisasi (pembelajaran peran-peran sosial); (b) Proses internalisasi (pembentukan akhlak/ kepribadian); dan (c) Proses enkulturasi (pembelajaran akan aturan dan norma budaya) bagi anak. Oleh karena itu kondisi keluarga yang disintegrasi (mengalami kehancuran dalam proses interaksi) akan berpotensi untuk membentuk pola perilaku ayah, ibu dan anak yang eror/rusak. Karena posisi keluarga sangat sentral dalam proses membentuk pola perilaku ayah, ibu dan anak, maka Islam memandang bahwa kolektif keluarga merupakan kunci meraih kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Oleh karena itu setiap pribadi muslim harus berjuang dengan sungguh-sungguh dalam upaya membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rakhmah (Q.S.30/ Ar Rum: 21. Dalam perspektif Islam, ada beberapa metode atau cara dalam membangun ukhuwwah / integrasi / kesatuan keluarga menuju rumah tangga yang meraih ketenangan, terlindungi dan penuh kebahagiaan lahir dan batin, antara lain:
Pertama, awali, mulailah dalam membangun keluarga dengan niat ibadah. Atau pilihlah jodoh karena kesamaan dalam agama Islam, jangan memilih hanya karena keturunan, atau cantik-tampan, atau kekayaannya. Memilih jodoh dengan motivasi ibadah karena Allah atau melilih karena pertimbangan kualitas ibadahnya, adalah awal dalam meraih keluarga yang sakinah, mawaddah wa rakhmah (HR. Bukhari-Muslim). Setelah menjadi suami istri, masing-masing harus selalu berusaha berbuat baik/ amal shalih untuk keluarga dan orang lain atas dasar iman yang suci (bersih dari kesyirikan. Allah S.W.T berfirman dalam Q.S.16/ An Nahl: 97, yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
Kedua, berjuanglah setiap hari untuk shalat berjamaah (Ayah, ibu dan anak, meskipun tidak lima waktu) dan setiap hari ada yang membaca/ mengkaji Al Qur’an. Shalat jamaah adalah usaha menyatukan ghirah (semangat) ayah, ibu dan anak dalam melakukan komunikasi spiritual pada Sang Pemilik Hidup ini (Allah S.W.T) untuk menghadapi beragam ujian hidup dalam rumah tangga. Shalat yang khusyuk akan mampu mencegah berbuatan keji dan mungkar dalam keluarga (Q.S.29/ Al Ankabut: 45). Disamping itu setiap hari upayakan di rumah ada yang mengkaji dan membaca Al Qur’an. Membaca atau mengkaji Al Qur’an adalah salah bentuk dzikir kepada Allah, sehingga hati menjadi tenang dan insya Allah rumah itu akan terakhmati oleh-Nya (Q.S.13/ Ar Ra’d: 28 ).
Ketiga, suami, Istri dan anak harus berjuang seiring-seirama disetiap detik untuk membangun sikap mental dan perilaku sabar dan tawakkal. Hanya dengan perilaku sabar dan tawakkal yang akan mampu menyelesaikan beragam ujian hidup keluarga di sepanjang usianya. Allah S.W.T akan menguji setiap hamba melalui pintu: (a) kegalauan, kegelisahan hati-pikiran; (b) ketebatasan diri manusia; (c) terkurangi harta miliknya; (d) sehat dan sakit fisiknya; dan (e) tempat dia mencari rizqi (Q.S.2/ Al Baqarah: 155). Sabar dan tawakkal pada Allah S.W.T akan mampu mengeluarkan manusia dari beragam ujian tersebut.
Keempat, bekerja, dan berkaryalah terus tanpa henti dengan bekal kemampuan yang dimiliki masing-masing. Suami-istri dan anak harus terus berkarya, bekerja dan beramal dengan baik, dan orientasinya (tujuan akhir) hanya mengharap pertolongan dan ridha Allah semata. Jangan sekali-kali bekerja, berkarya dalam keluarga karena ingin dipuji oleh suami-istri, anak dan mertua atau orang lain. Kesalahan orientasi dan motivasi dalam berkarya adalah sumber bencana dalam rumah tangga (Q.S. 6/ Al An’am: 82; Q.S. 17/ Al Isra’: 22; Q.S. 94/ Al Insyirah: 7-8; Q.S. 46/ Al Ahqaaf; 19). Kesalahan tujuan, motivasi dan orientasi dalam bekerja, berkarya akan memunculkan sikap tercela, yaitu: iri-dengki, egoisme, sombong, mudah mencaci maki sesama anggota keluarga ( Q.S. 49/ Al Hujurat: 11-12); dan menganggap dirinya paling berjasa dalam keluarga, paling baik, paling suci dalam hidup (Q.S. 53/ An Najm: 32). Baik suami atau istri harus saling membantu dengan tulus dan sesuai dengan kemampuannya dalam persoalan pemenuhan kebutuhan materi, renungkan firman Allah dalam Q.S. 65/ Ath Thalaq: 6, yang artinya “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”
Kelima, berjuanglah terus setiap detik untuk membangun akhlak mulia, yaitu: (a) ikhlas dalam berbuat; (b) saling menolong antar suami-istri-anak dan anggota kerabat, renungkan firman Allah S.W.T dalam Q.S. 9/ At Taubah: 71, yang artinya “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka (saling) menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar…”; (c) saling memaafkan apabila ada anggota keluarga yang khilaf; dan jangan membangun hati-pikiran yang keras, arogan dalam keluarga (Q.S. 3/ Ali Imran: 134 dan 159; Q.S. 4/ An Nisak: 36; Q.S. 42/ Asy Syuara: 23); dan (d) jangan ada dalam kehidupan keluarga suami/ istri/ anak saling menguasai dengan cara-cara yang batil (pemaksaan kehendak), renungkan firman Allah S.W.T dalam Q.S. 4/ An Nisa’: 19, yang artinya “Hai orang-orang beriman, tiada halal bagimu mempusakai/ memiliki perempuan dengan cara paksaan dan jangan (haram) engkau buat istrimu susah/ menderita…Dan bergaullah dengan mereka secara patut (berakhlak)”.
Setiap pribadi muslim harus selalu menyadarkan dirinya, bahwa: (a) dirinya adalah mahkluk yang lemah, tidak mampu memenuhi segala keinginannya; (b) dirinya adalah tidak lepas dari kekhilafan dan perbuatan dosa; (c) kesempatan hidup yang terbatas usia, dan kematian adalah awal pertanggungjawaban semua perilaku; dan (d) hidup ini adalah berjuang untuk berubah yang lebih baik dan semata-mata untuk mengharap ridha Allah S.W.T . Apabila keempat hal tersebut menyatu/ lekat/ kokoh dihati setiap hamba, insya Allah dia akan menjadi hamba yang suka menolong anggota keluarga dan orang lain, suka memaafkan kekhilafan orang lain; dan tidak berhati arogan, otoriter, sewenang-wenang.
Keenam, masing-masing anggota keluarga atau kerabat, mempunyai semangat yang sama dalam mengajak untuk dekat kepada Allah S.W.T (berdakwah) atau berlomba untuk berbuat baik, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing, dengan cara: (a) hikmah (penuh cara/ metode) yang bijak; (b) menggunakan ilmu pengetahuan atau berpikir jernih tidak emosional (maw’idhatul hasanah); dan (c) selalu mengedepankan dialog, komunikasi dua arah antara masing-masing pihak, dan tidak saling mengklaim paling benar (al mujadalah al hasanah) (Q.S.16/ Al Nahl: 90 dan 125). Mengajak orang lain untuk berbuat baik, “belum tentu bernilai baik dan berhasil dengan baik”, apabila metode atau caranya tidak benar, yaitu: Tidak bil hikmah; Tidak al maw’dhatul hasanah; dan Tidak al mujadalah al hasanah. Menyampaikan kebenaran ayat-ayat Allah S.W.T, baik untuk lingkungan keluarga atau masyarakat luas, apabila menggunakan pendekatan kekerasan, pemaksaan dan ancaman, hanyalah akan membawa kehancuran hidup keluarga dan masyarakat. Hakikatnya manusia diciptakan untuk: (a) beribadah pada Allah S.W.T (Q.S.51/ Az Zariyaat:56); (b) memakmurkan bumi/ bukan membuat bencana di bumi (Q.S. 11/ Hud: 61); (c) sebagai khalifah/ pemimpin di bumi (Q.S. 24/ An Nur: 55); (d) berakhlak mulia (Q.S.4/ An Nissak: 36), dan masih banyak kecenderungan positif lainnya.
Apabila keenam aspek tersebut telah menyatu padu dengan kokoh dalam lubuk hati-pikiran setiap anggota keluarga (ayah-ibu-anak), insya Allah, suatu keluarga dan kerabat itu akan terbangun kehidupan keluarga yang bahagia, dan apabila ada kendala ujian hidup keluarga insya Allah akan segera bisa teratasi atas ijin dan bimbingan Allah S.W.T. Oleh karena itu kita semua tidak boleh merasa lelah, patah semangat dan berhenti dalam proses hidup ini untuk terus mewarnai proses kehidupan rumah tangga kita masing-masing dengan keenam hal tersebut di atas. Insya Allah, Allah Yang Maha Kasih dan Maha Segalanya akan menolong kita.
*) Penulis adalah guru SMA dan dosen FIS di Universitas Brawijaya, serta peminat studi Sosiologi Agama

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si.

Beberapa konsep mendasar yang diungkap oleh Al Qur’an tentang keberadaan ilmu adalah: Ayat Al Qur’an yang pertama diturunkan bukan berbicara tentang ekonomi, politik dan keluaga, tetapi bersentuhan dengan indikator ilmu (Q.S. 96/ Al ‘Alaq:1-5). Hakikatnya segala ciptaan Allah S.W.T yang ada di langit dan di bumi hanya diperuntukkan bagi orang yang berilmu pengetahuan, bukan untuk orang yang “bodoh” (QS. 29/ Al Ankabut:43). Allah S.W.T akan mengangkat derajat yang tinggi setiap hamba-Nya yang beriman dan berilmu pengetahuan (Q.S 58/ Al Mujaadalah:11). Hamba yang takut kepada Allah S.W.T adalah hamba yang berilmu pengetahuan (ulama) (Q.S. 35/ Faathir: 28). Allah S.W.T memperlakukan sangat beda antara hamba-Nya yang menguasai Iptek dan yang tidak menguasai Iptek (Q.S. 39/ Az Zumar: 9). Lebih dari 780 ayat Al Qur’an menyinggung tentang pentingnya science (ilmu pengetahuan) dalam kehidupan di dunia (Ghulsyani,1994). Permasalahannya adalah: Mengapa kondisi ummat Islam dewasa ini tidak berada dalam posisi elit, sebagai pengendali dunia dengan penguasaan Iptek yang tinggi sebagaimana yang dianjurkan Al Qur’an?; dan mengapa penguasaan Iptek dewasa ini oleh ummat Islam merupakan suatu keharusan (keniscayaan)?. Dua permasalahan inilah yang akan dianalisis dalam makalah singkat ini, semoga menjadi bahan renungan bersama.
Banyak faktor yang menyebabkan kondisi ummat Islam dewasa ini tidak mampu meraih posisi elit dalam percaturan kehidupan global, antara lain: Pertama, mayoritas sikap mental, motivasi ummat Islam dalam membaca, menulis dan meneliti tentang fenomena sosial-alam adalah sangat rendah. Mentalitas dan perilaku inovatif, kreatif dan selalu tidak puas terhadap karya yang ada ummat Islam relatif rendah. Hal ini terjadi, faktor penyebabnya adalah kesalahan sistem dakwah, yang lebih mengkondisi manusia untuk tidak kreatif-inovatif. Sistem dakwah Islamiah dewasa ini melupakan prinsip/ makna yang dianjurkan Al Qur’an, yaitu bil hikmah (kebajikan/ secara multidimensional), al maw’idhatul hasanah (wacana keilmuan yang baik) dan al mujadalah al hasanah (dialog-diskusi menuju kualitas hidup) (Q.S. 16/ An Nahl:125). Sistem dakwah yang meniadakan tiga prinsip tersebut hanya akan mengubur ummat Islam kedalam ketidakberdayaan hidup; Kedua, mayoritas sikap mental dan pola perilaku sehari-hari ummat Islam masih mencerminkan disintegrasi dalam membangun ukhuwwah Islamiah. Perbedaan sudut pandang dalam fiqih, perbedaan organisasi dakwah dan perbedaan sarana ibadah dijadikan/dianggap sebagai kriteria/ukuran “keridhaan Allah S.W.T”, yang kemudian menjastifikasi perilaku perpecahan dan konflik antar ummat Islam. Sikap ummat Islam lebih bersikat eksklusif, primordialisme golongan mewarnai aplikasi ibadah. Realitas sikap mental dan perilaku ummat Islam tersebut tentu sangat memudahkan bagi musuh Islam untuk tetap menjadikan ummat Islam sebagai kelompok yang termarjinalkan; dan Ketiga, tingkat pemahaman ummat Islam pada kitab suci Al Qur’an dan Sunnah lebih bersifat tekstual daripada kontekstual atau hanya sebatas lahir atau kulitnya. Hanya dengan pemahaman secara integratif tekstual-kontekstual terhadap pesan-pesan suci Al Qur’an dan sunnah Rasulullah s.a.w. ummat Islam akan mampu menyikapi beragam problem kehidupan dunia yang kompleks/ multidimensional, sehingga ummat Islam mampu meraih posisi elit (khaira ummah) dalam kehidupan di dunia.
Basic problem (problem dasar) yang menjadi akar penyebab semua permasalahan ummat Islam dewasa ini adalah “rendahnya kualitas sumber daya manusia muslim dalam penguasaan Iptek”. Oleh karena itu solusi utama dalam memecahkan seluruh problem ummat Islam adalah, semua ummat Islam harus segera melakukan rekonstruksi bahkan bila perlu dekonstruksi sikap mental dan pola perilaku sehari-hari untuk: (1) mencinta perkembangan Iptek (Q.S 58/ Al Mujaadalah:11); (2) dinamik, kompetitif dalam mencapai keunggulan/ kualitas hidup (Q.S.2/ Al Baqarah: 148); (3) selalu tidak puas terhadap karya yang telah dicapai (Q.S. 94/ Al Insyirah: 7-8); (4) mensterilkan keimanan dari unsur kesyirikan (Q.S. 6/ Al An’am: 82); (5) selalu berinovasi/ hijrah (membaharui) dan bersungguh- sungguh dalam menjalani perencanaan hidup (Q.S. 8/ Al Anfal: 74); dan (6) saling tolong menolong untuk meraih kualitas dan keunggulan hidup (Q.S. 5/ Al Maidah: 2 dan Q.S. 49/ Al Hujurat: 10).
Al Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam, semestinya harus menjadi rujukan, pedoman pokok semua aktifitas hidup sehari-hari baik secara individu atau berkelompok. Bahkan bila perlu ummat Islam menganggap “haram” membaca/ mengkaji/ menganalisis informasi dari sumber-sumber bacaan lain sebelum terlebih dahulu membaca/ mengkaji dan menganalisis informasi dari Al Qur’an. Hal ini disebabkan Al Qur’an: (1) sebagai pedoman hidup manusia (Q.S.45/ Al Jaatsiyah:20); (2) sebagai penerang/penjelas segala sesuatu dalam hidup ini (Q.S. 16/ An Nahl: 89); (3) sebagai pengungkap/ tidak ada yang tersembunyi apa saja di jagat raya ini, semua ada dalam kitab suci (Q.S. 34/ As Sabak: 3); dan (4) mencakup apa saja yang diperlukan bagi petunjuk dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat (Q.S. 6/ Al An’am: 38 dan Q.S. 16/ An Nahl:89). Agar ummat Islam mampu memahami dan mengaplikasikan isi Al Qur’an disetiap aspek kehidupannya menuju predikat khairu ummah di dunia, maka ummat Islam harus terus meningkatkan kualitas ilmu dan ketrampilannya, dengan kata lain ummat Islam harus menguasai Iptek.
Beberapa ayat Al Qur’an yang menyinggung betapa pentingnya ummat Islam menguasai Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) untuk mencapai keunggulan hidup, antara lain: (1) Allah S.W.T memerintahkan agar ummat Islam selalu melakukan observasi terhadap segala fenomena sosial-alam, untuk meningkatkan kedekatannya kepada Allah S.W.T (Q.S. 3/ Ali Imran: 190-191); (2) Allah S.W.T memciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (Q.S. 15/ Al Hijr: 19), ciptaan yang serba berpasang-pasangan tersebut agar manusia mengingat akan kebesaran Allah S.W.T/ menjadi peringatan (Q.S. 51/ Zaariaat:49); (3) Hakikat perintah shalat disamping mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah untuk membangun sikap mental manusia agar menghargai/ disiplin terhadap waktu (Q.S.4/ An Nisaak: 103); (4) Perintah untuk mengembangkan teknologi (kapal) dengan memperhatikan petunjuk wahyu Allah S.W.T, dan jangan ikuti orang-orang yang dhalim (Q.S. 11/ Hud: 37); (5) Perintah Allah S.W.T untuk membuat/ mengembangkan teknologi baju dari besi dan perintah mengerjakan amal shalih (Q.S. 34/ As Sabak: 10-11); (6) Perintah untuk memperhatikan dampak negatif dari pengembangan teknologi. Oleh karena itu dilarang untuk menimbulkan kerusakan/pencemaran di muka bumi (Q.S.7/ Al A’raaf: 56); (7) Allah S.W.T memerintahkan agar manusia mengkaji seluruh aspek alam dan menemukan misteri penciptaan-Nya (Q.S. 29/ Al Ankabuut: 20); dan (8) Allah S.W.T memerintahkan manusia untuk memahami hukum-hukum alam dan mengeksploitasinya untuk kesejahteraan ummat manusia dengan tidak melampaui batas syariah (Q.S. 55/ Ar Rahman: 5-9). Masih banyak prinsip dalam Al Qur’an yang menyinggung tentang pentingnya ummat Islam untuk menguasai Iptek demi terwujudnya kesejahteraan hidup ummat manusia di dunia.
Berdasarkan beberapa ayat Al Qur’an tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa ummat Islam wajib mengusai Iptek dengan tetap memperhatikan syariah dan semua pengembangan Iptek harus memperkokoh tauhid dan memberi kemaslahan ummat. 

*) Penulis adalah guru SMA Islam, dosen FIS di Universitas Brawijaya

Read Full Post »

Oleh: Dr. ARIFIN, M.Si. *)

Dalam pandangan Al Qur’an dan Sosiologi Pembangunan, eksistensi manusia dalam hidupnya sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya kualitas sikap mental dan perilaku hijrah atau inovasi dalam dirinya. Permasalahan yang muncul adalah: Apakah hakikat makna hijrah atau inovasi itu? Bagaimana pandangan ilmu pengetahuan (perspektif sosiologi) tentang essensi atau makna hijrah / inovasi dalam proses kehidupan manusia?; dan Bagaimana perspektif Al Qur’an tentang hakikat makna hijrah/ inovasi dalam proses kehidupan manusia di masyarakat?. Ketiga persoalan itulah yang akan menjadi fokus kajian pada makalah singkat ini, dengan harapan semoga wacana singkat tentang urgensi membangun sikap mental dan perilaku hijrah ini menjadi bahan renungan ummat Islam yang selama ini masih sangat rendah kualitas inovasinya dan akhirnya mampu membangkitkan ghirah inovasi sepanjang hidupnya sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an.
Secara tekstual (harfiah) hijrah adalah berpindah, sedangkan secara kontekstual makna hijrah adalah ‘membaharui hidup dalam segala aspek pada kondisi hasil karya hari ini lebih baik dari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini’. Jadi, hakikat makna hijrah secara kontekstual adalah inovasi. Sikap mental dan perilaku hijrah/ inovasi berarti sikap mental dan perilaku individu sepanjang usia hidupnya untuk terus menggelorakan prinsip hidup ‘hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini’. Kriteria ‘baik’ dalam hal ini adalah baik menurut Al Qur’an dan Sunnah shahih. Jadi, kriteria baik bukan menurut pertimbangan individu (subyektiv) yang tanpa akar/ dasar Al Qur’an dan Sunnah shahih. Segala fenomena/ gejala dan persoalan dijagat raya ini hakikatnya semua telah diatur dalam Al Qur’an, baik yang disinggung secara empirik (nyata) atau secara simbolik (dibalik yang nyata). Renungkan firman Allah S.W.T sebagai berikut:
“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Q.S. 25/ Al Furqaan: 2). “.. Dan telah Kami wahyukan kitab (Al Qur’an) kepadamu untuk menerangkan segala seuatu dengan jelas dan menjadi petunjuk… “ (Q.S. 16 / An Nahl: 89)
Dalam pesrpektif Sosiologi pembangunan, sikap mental inovasi / hijrah yang selalu tumbuh pada setiap diri individu akan menjadi dasar/ kunci keberhasilan individu tersebut dalam kehidupan di masyarakat, demikian juga bila suatu masyarakat kondisi Sumber Daya Manusianya (SDM) mayoritas mampu membangun sikap mental dan perilaku inovasi/ hijrah, maka masyarakat/ bangsa tersebut akan menjadi pemenang dan pemegang kendali kehidupan di dunia ini dalam segala aspek. Beberapa teori pembangunan yang dikemukakan para ahli di abad 19 dan 20 semuanya mempunyai kesimplan yang sama, yang meletakkan unsur “sikap mental inovasi/ pembaharuan/ hijrah” sebagai faktor yang paling menentukan dalam mebawa tingkat kemajuan atau modernisasi kehidupan. Misalnya: Teori Need fo Echievement (n-Ach) oleh Prof. David Mc Clalland; Teori Mentalitas modern oleh Prof. Alex Inkeles dan Prof. Smith; Teori Ethic Protestanism oleh Max Weber. Teori-teori tersebut menginspirasi negara-negara maju dalam membangun negaranya dengan lebih menekankan aspek mentalitas manusia (human centered development) agar selalu melakukan inovasi dalam segala aspek kehidupan. Konsekwensi dari pelaksaan pembangunan yang lebih menekankan pada aspek mentalitas dan perilaku manusia inovatif tersebut adalah bangsa/ negara tersebut mampu berkompetisi dan menguasai segala aspek kehidupan di bumi ini.
Apa yang telah ditemukan oleh ilmuwan dunia barat di abad 19 dan 20, tentang esensi dari sikap mental-perilaku inovatif/ hijrah dalam memajukan kehidupan disegala aspek, sebenarnya telah disinggung oleh Al Qur’an 15 abad yang lalu. Jadi, semestinya detik ini yang menguasai dan mengendalikan bumi dengan teknologi canggih adalah ummat Islam, bukan non muslim. Ada beberapa prinsip dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang pentingnya membangun sikap mental dan perilaku inovasi/ hijrah dalam hidup ini, yaitu:
Pertama, apabila seseorang ingin menguasai dunia, bahkan dia akan mendapatkan karunia yang melimpah dari Allah S.W.T, maka salah satu syaratnya adalah individu tersebut harus selalu membangun sikap mental dan perilaku inovasi/ hijrah selama proses hidupnya di dunia. Hal ini secara tegas dijelaskan dalam Al Qur’an surat ke 4/ An Nisa’:100, yang artinya “Barangsiapa yang berhijrah (berinovasi) di jalan Allah, niscaya akan diperolehnya karunia (rizki dari Allah) dimana dia berpijak di bumi ini…”.
Kedua, apabila seseorang ingin selalu kembali (berada) di garis hidup yang selalu mendapat karunia (rakhmat) dari Allah S.W.T dalam segala aspek kehidupannya, maka salah satu syarat adalah individu tersebut harus selalu membangun sikap mental dan perilaku inovasi/ hijrah selama hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat ditangkap dari makna kontekstual dari Al Qur’an surat ke 2/ Al Baqarah:218, yang artinya “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah (berinovasi) dan berjuang di jalan Allah, mereka itu mengharap (berada dijalan hidup) karunia / rakhmat Allah…” .
Ketiga, apabila seseorang ingin meraih kedudukan yang paling mulia dimata sesama manusia dan dimata Allah S.W.T serta ingin selalu menjadi pemenang dalam kompetisi hidup dalam segala aspek, salah satu syaratnya adalah individu tersebut harus selalu membangun sikap mental dan perilaku inovasi/ hijrah sepanjang usia hidupnya. Prinsip ini telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat ke 9/ At Taubah:20, yang artinya “Orang-orang yang beriman (suci dari kesyirikan) dan berhijrah (berinovasi) serta berjuang dijalan Allah dengan harta dan jiwanya, mereka itu mendapat derajat yang tinggi disisi Allah, dan mereka itulah orang-orang yang akan menjadi pemenang (dalam kompetisi hidup)”.
Keempat, setiap pribadi muslim apabila dia ingin disebut sebagai mukmin sejati oleh Allah S.W.T, perjalanan hidupnya selalu ingin dimaafkan oleh Allah S.W.T dan dalam hidupnya di dunia akan meraih rizki yang membawa mulya hidupnya, salah satu syarat dari empat syarat adalah setiap individu muslim harus membangun sikap mental dan perilaku hijrah/ inovasi selama hidupnya. Hal ini ditegaskan dalam Al Qur’an surat ke 8/ Al Anfal: 74, yang artinya “Orang-orang yang beriman (steril dari syirik) dan berhijrah (berinovasi), dan bersungguh-sungguh dalam menjalani rencana hidup dijalan Allah, serta orang yang selalu menolong orang lain, mereka itulah orang-orang mukmin sejati, mereka akan mendapat ampunan dari Allah dan akan mendapat rezeki yang memuliakan dia”
Kelima, setiap hamba Allah yang selalu berusaha untuk berhijarah/berinovasi atau selalu membangun sikap dan perilaku hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan esok harus lebih baik dari hari ini dalam bingkai keimanan yang bebas dari kesyirikan, maka kelak diakhirat hamba tersebut akan dimasukkan dalam surga, dimana surga itu dia yang memilih. Prinsip ini bisa kita tangkap dari makna kontekstual dari Al Qur’an surat ke 22/ Al Hajh: 59 “Demi (orang-orang yang berhijrah/inovasi) sesungguhnya Dia (Allah) akan memasukkan mereka ketempat (surga) yang mereka sukai (dia sendiri yang memilih). Sungguh Allah Maha mengetahui dan Maha penyantun”
Masih banyak prinsip-prinsip hidup tentang pentingnya membangun sikap mental dan perilaku hijrah/ inovasi yang dijelaskan dalam Al Qur’an, yang semestinya menjadi dasar orientasi hidup setiap hamba muslim sepanjang usianya. Jadi, persoalan yang paling mendasar yang menyebabkan kualitas kehidupan ummat Islam dibelahan bumi ini tidak mampu menguasai segala aspek kehidupan adalah tidak berkembangnya sikap mental inovasi/ hijrah sepanjang usia hidupnya.
Ada tiga faktor kunci agar setiap pribadi muslim mampu atau sanggup membangun kualitas sikap mental dan perilaku hijrah/ inovasi sepanjang usia hidupnya adalah: Pertama, Kokohnya iman yang bebas dari kesyirikan; Kedua, Terus belajar dan menguasai Iptek; dan Ketiga, Selalu terobsesi untuk saling menolong / membangun cinta kasih dengan sesama (ketiga aspek ini akan dikaji dalam kajian berikutnya). Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam makalah singkat ini akan menjadi renungan dan mampu memotivasi hidup kita untuk selalu berinovasi/ berhijrah dalam sisa-sisa lembarhidup kita. Amin

*) Penulis adalah guru, dosen, Anggota CMM dan alumni S3 Universitas Brawijaya, serta peminat studi Sosiologi Agama.

Read Full Post »

Oleh: Dr. Arifin, M.Si.
( Guru Sosiologi di SMA Islam Malang, Dosen FIS di Universitas Brawijaya Malang)

Pendahuluan

Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan kebijakan strategis, bahwa tahun akademik 2006-2007 telah dimulai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun akademik 2007-2008 ini diharapkan lebih mantap pelaksanannya. Keberadaan KTSP tersebut apabila dicermati dan direnungkan dari dimensi paradigma pembelajaran, maka sejatinya visi dan misi yang diusung dalam KTSP adalah, mengharapkan adanya perubahan paradigma pembelajaran di semua satuan pendidikan dari: paradigma normal child and exceptional child menjadi regular child and special educational needs; dari paradigma teacher center menuju child centered; dari paradigma subject mathod curriculum menuju competence base curriculum; dan dari paradigma exclusive segregative educational menuju inclusive education process. Begitulah tuntutan das sollen (realitas teoritik) yang harus dipahami, direnungkan dan diaplikasikan oleh setiap insan yang memilih profesi guru di bumi pertiwi ini. Persoalannya adalah, apa yang tersaji dalam realitas emprik (das sain) tentang potret kualitas guru di negeri tercinta ini masih sangat “memprihatinkan” (kalau tidak boleh dikatakan “sangat rendah”). Kesenjangan antara das sollen dan das sain tersebut yang “dibiarkan” mengalir mewarnai perjalanan sejarah layanan pendidikan di negeri ini, akan menjadi basic problem munculnya beragam persoalan mikro-makro bangsa yang begitu kompleks. Hal ini wajar sebab hakikat pembangunan adalah dari, oleh dan untuk manusia, yang berarti orientasi pembangunan pada people centered development paradigm menjadi kunci penyelesaian beragam poblem masyarakat.
Mengkaji tentang keberhasilan pelaksanaan KTSP sejatinya menuntut pemahaman dari sudut pandang secara multidimensional, karena faktor pendukung keberhasilan pelaksanaan KTSP ditentukan oleh beragam faktor, antara lain kondisi: (a) kualitas guru baik secara akademik, kepribadian maupun profesional; (b) kualitas peserta didik baik secara fisik maupun non fisik; (c) kualitas managemen kepemimpinan disetiap satuan pendidikan; (d) kualitas dana atau sarana-prasarana sekolah; dan (e) dukungan dari realitas sosial-budaya yang berkembang dalam komunitas keluarga atau masyarakat. Kelima faktor tersebut membentuk suatu sebuah rangkaian sistemik dalam mewujudkan bangunan yang kokoh bernama “Keberhasilan KTSP”. Dalam posisi kajian ini fokus analisisnya lebih menekankan pada aspek kualitas sumber daya guru (SDM), sedangkan aspek lainnya sebagai pelengkap.

Landasan yuridis dan teoritik pembelajaran dalam KTSP
Keberadaan KTSP dapat dikatakan sebagai salah satu indikator upaya pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) dalam proses pembangunan pendidikan yang memperhatikan aspek human resource development. Perubahan orientasi pembangunan Nasional dari economic recource development ke human resource development, khususnya dibidang pndidikan nampak dalam rumusan Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISPENAS, yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang didalamnya memuat tentang: standar Isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (BSNP, 2006). Dari UU No. 20 tahun 2003 dan PP No. 19 tahun 2005 tersebut, kemudian disusun Permendiknas No. 24 tahun 2006, yang di dalamnya mengatur tentang pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan pada tahun pelajaran 2006-2007 dimuli disemua jenjang pendidikan dari SD sampai SMA/SMK.
Paradigma pembelajaran yang diusung dalam KTSP sejatinya adalah pembelajaran yang berorientasi pada perpaduan teori atau prinsip pembelajaran konstruktivisme dan penerapan prinsip resource-based learning. Prinsip pendekatan konstruktivis, model pembelajaran di kelas harus didesain dengan pola: (a) siswa diharapkan tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi didorong untuk mampu menyerap beragam ilmu pengetahuan yang ada di sekelilingnya, untuk kemudian mampu membangun dan mengembangkan sendiri tentang pengetahuan yang mereka dapatkan; (b) proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa secara mandiri untuk mentransformasi pengetahuan dan ketrampilan baru sesuai dengan kemampuan dirinya (Brook, 1999); (c) proses pembelajaran di kelas harus menggunakan beberapa strategi dan inovasi pembelajaran tentang bagaimana caranya agar siswa yang mempunyai keberagaman intelektual, sosial-kultural tersebut mampu membangun pengetahuan baru dengan bantuan pengalaman, pengetahuan dan keyakinan yang dimilikinya; (d) proses pembelajaran di kelas harus di desain dengan pola pembelajaran yang merangsang anak untuk senang kepada tantangan baru, gemar melakukan analisis dan penemuan baru, siswa harus dipandang sebagai ilmuwan kecil dengan segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing; dan (e) proses pembelajaran berdasarkan KTSP hakikatnya adalah, adanya pengakuan akan eksistensi siswa di kelas sebagai insan yang serba beragam dalam segala kemajemukan: pengetahuan, ketrampilan, emosi, keyakinan, cita-cita, yang akan dikomandani oleh guru yang bertindak sebagai teladan, pembimbing dan motivator bagi anak untuk berkembang sesuai dengan kemampuan dirinya. Untuk bisa menerapkan prinsip pembelajaran tersebut setiap guru harus mampu menerapkan prinsip resource-based learning (memberdayakan semua sumber-sumber belajar) dalam proses pembelajaran. Disinilah letak urgensi kualitas guru dalam mensukseskan proses pembelajaran berdasarkan KTSP.

Problema kualitas guru dan alternatif pemecahannya
Ada tujuh prinsip dalam pelaksanaan KTSP di setiap satuan pendidikan, yaitu: (a) didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi siswa untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya; (b) menegakkan kelima pilar belajar, yaitu belajar untuk: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Y.M.E; memahami dan menghayati; mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan membangun, menentukan jati diri; (c) memungkinkan siswa mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke Tuhanan, keindividuan, kesusilaan dan moral; (d) tercipta suasana hubungan siswa dan pendidik yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo; (e) menggunakan pendekatan multi-strategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar; (f) mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal; dan (g) mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, kesinambungan yang cocok dan memadai antar kelas dan jenis serta jenjang pendidikan (BSNP, 2006). Untuk merealisasikan tujuh prinsip tersebut sangat dibutuhkan SDM guru yang berkualitas.
Ada beberapa kendala (problem) tentang kualitas guru dalam mensukseskan pelaksanaan KTSP, diantaranya adalah: Pertama, secara makro ditinjau dari jenjang pendidikan formal atau kelayakan akademik guru di Indonesia masih dalam kategori rendah. Berdasarkan data Depdiknas, sekitar 2, 6 juta guru di Indonesia masih terdapat 912.505 guru yang tidak layak mengajar di kelas dan 15 % diantaranya mengajar tidak sesuai dengan keahliannya (Depdiknas, 2006). Diantara alternatif pemecahannya adalah pemerintah harus sungguh-sungguh dalam memberikan beragam kemudahan bagi guru untuk mengakses peningkatan kelayakan akademiknya (melalui pemberian beasiswa melanjutkan studi, diklat, penataran, workshop dan sejenisnya). Disamping itu setiap guru yang hendak meningkatkan kualitas formal akademiknya harus betul-betul disesuaikan dengan bidang keahlian mengajar di kelas, tidak hanya sekedar meraih gelar sarjana; Kedua, masih banyak guru yang terpaku pada mindset pembelajaran teacher centered (Adi, 2007) dengan one texbook information. Apabila fenomena ini tetap bertahan mewarnai poses pembelajaran di kelas tentu sangat mengerikan bagi kelangsungan pembelajaran berdasarkan KTSP. Alternatif pemecahan problem kedua ini tentu sangat bersifat internal, artinya hati dan pikiran guru itu sendiri harus sungguh-sungguh mau berubah untuk terus belajar meningkatkan kuaitas keahliannya atau profesinya. Setiap guru harus terus menyalakan sikap mental need for achievement (berprestasi sebagai kebutuhan dasar) sepanjang meniti karir profesi guru. Tanpa ada kemauan internal guru untuk berubah secara kokoh, apapun usaha pemerintah dan lembaga satuan pendidikan dalam memajukan layanan pendidikan akan tetap sia-sia.
Ketiga, masih banyak guru yang tidak memahami beragam inovasi pembelajaran dan bagaimana penerapannya di kelas. Hal ini tentu sangat kontradiktif dengan semangat inovasi pembelajaran yang tersirat dalam KTSP. Diantara alternatif pemecahan masalah ini adalah, setiap satuan pendidikan harus dibentuk team ahli inovasi pembelajaran yang secara optimal bersama-sama memberdayakan potensi setiap guru untuk meningkatkan penguasaan metode pembelajaran dengan meminimalisir prinsip what should be learned (apa yang harus dipelajari) untuk mengedepankan prinsip how to think (bagaimana berpikir) (Winarno, 1998). Oleh karena itu dalam konteks metode pembelajaran, setiap guru harus menegakkan empat pilar, yaitu: learning to know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to gether (belajar hidup bersama), dan learning to be (belajar menjadi seseorang) (Djohar, 2000). Jadi, dalam konteks ini setiap guru harus cerdas membaca perkembangan jaman atau tanggap terhadap perkembangan Iptek, harus punya ambisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan atau keahlian akademiknya (bukan ambisi cari jabatan struktural), selalu berinovasi dalam pembelajaran melalui kegiatan classrom action research (PTK) atau kegiatan kajian pengembangan keilmuan.
Keempat, lembaga satuan pendidikan sebagai wadah aktualisasi guru dalam meniti karir profesi, pada tataran aplikatif sehari-hari masih ada kecenderungan hubungan disharmonis antar guru karena beragam kepentingan dan sudut pandang. Apabila hal ini tidak segera terselesaikan, sedikit banyak akan mengganggu keharmonisan dalam layanan pendidikan sesuai dengan KTSP. Dalam konteks organisasi satuan pendidikan, seharunya setiap guru senantiasa belajar untuk memajukan satuan pendidikannya melalui proses: (a) system thinking; (b) mental models; (c) personal mastery; (d) team learning; (e) shared vision; dan (f) dialog (Peter dalam Soetrirno, 2002). Diantara alternatif pemecahan problem keempat ini adalah, membentuk atau membangun kemauan sikap mental setiap guru untuk belajar dan bekerjasama sesama guru dengan hati yang tulus-ikhlas, membangun kualitas kepribadian. Oleh karena itu kedudukan dan peran kepala sekolah dalam hal ini sangat sentral. Kepala sekolah harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools). Kepala sekolah harus: berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis dalam satuan pendidikan; berfikir integral dalam mencermati fenomena pendidikan; mampu membangkitkan learning organization; mendorong dan memberi peluang pada setiap guru/ anak buah untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan tanggungjawab dalam pengelolaan aset satuan pendidikan; dan mampu membangun atau mewujudkan regenerasi yang visioner.
Kelima, kondisi tingkat kesejahteraan finansial guru yang masih “relatif” rendah. Rendahnya tingkat kesejahteraan guru termasuk salah satu faktor penyebab “rendahnya” kualitas layanan guru dalam poses pembelajaran di kelas (Tilaar, 2002). Masih banyak dijumpai pendapatan guru dalam satu bulan di bawah dua ratus ribu rupiah dengan segudang tangggungjawab, jauh dibawah UMR, terutama para GTT baik dari jenjang SD sampai SMA. Diantara solusi dalam mengatasi permasalahan ini antara lain: (a) Pemerintah harus segera merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20 % dalam APBN/APBD; (b) Komite Sekolah bersama Kepala Sekolah dan dewan guru harus berusaha meningkatkan Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam mendukung proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, untuk dikelola secara transparan dan tanggungjawab; dan (c) Pemerintah atau lembaga pendidikan harus menerapkan sistem pemberian “reward” (hadiah), insentif yang sangat memadai bagi guru yang berdedikasi, berprestasi baik secara akademik, kepribadian atau profesi. Peluang untuk mendapatkan reward atau insentif tersebut harus terbuka dan terus disosialisasikan ke setiap guru. Ada kecenderungan pola budaya yang berkembang di masyarakat tentang nilai penghargaan (reward) pada insan yang berprestasi dibidang akademik (Iptek), jauh lebih rendah penghargaan finansialnya apabila dibandingkan dengan prestasi dibidang non akademik. Fenomena ini tentu menjadi salah satu faktor penghambat rendahnya minat anak bangsa dalam meminati dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kesimpulan
Uraian di atas memberikan sebuah wacana atau renungan, bahwa salah satu faktor kunci keberhasilan pelaksanaan KTSP adalah tersedianya kualitas sumber daya guru, baik secara akademik, kepribadian dan profesinya. Ketiadaan kualitas SDM Guru di setiap satuan pendidikan, akan berdampak pada kegagalan pelaksanaan KTSP. Upaya mengatasi problem “rendahnya” kualitas guru harus secara seimbang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah pandangan, motivasi dan tujuan guru itu sendiri, bersedia atau tidak untuk terus berada di garis perubahan dan inovasi pembelajaran. Sedangkan pihak eksternal adalah pihak pemerintah dengan segenap strategi kebijakannya, kepala sekolah dan iklim atau kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Sudah barang tentu setiap insan pendidik di negeri tercinta ini mendambakan potret layanan pendidikan anak bangsa ke depan tetap berada dalam bingkai penuh kesuksesan dan kemajuan. Insya Allah!

DAFTAR PUSTAKA
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Koentjaraningra, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta.
Tilaar, 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
Undang Undang No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISPENAS).
Nasution, 2006. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Adi, T. 2007. “Selamat Datang KTSP”, Jurnal Media. N0. 3/ Th. XXXVII/ Mei 2007. Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur.

Read Full Post »